sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
pada 08 April 2010 jam 21:46

mulai mengaduknya perlahan
kopi hitam, katamu
tiap butirannya kemudian
berpelukan
melenggak-lengok
mewujud buih serupa canda
mengental
ibarat alunan seruling dalam kidung rindu

tambahkan gulanya, katamu
biar menaburi
fajar yang berselimut embun
terik yang jumpai suntuk
larut yang menina-bobokan sepanjang lelap

masih terasa panas, katamu
kutiup-tiup
perlahan berhembus uapnya
melepas- lepas hingga
aromamu
benar-benar mengudara, kini
tertelan di langit abu-abu



maret 2010

 

biasanya
tengah kuoles gincu
di bibirku yang meranum
ketika sinyalmu berkedip
mengisyaratkan barisan huruf digital
serupa pujian
tentang warna pink kemerahan
yang melebar melebihi garis bibirku
membuatmu lama
mengecupnya
karena bincang tak kunjung selesai

setelah itu
gincu hanya memiliki satu warna
menyepuhkan rayuan
di bibir kita yang semakin merekah
ketika semua bagian tubuh menjadi bibir
bahkan hati dan jantung

tak tersisa jeda
untuk sinyalmu yang bermain mata
selaras untaian kata
pada layar persegi panjang
dalam ruang jauh yang kita buat dekat:
“aku selalu rindu pink kemerahan di bibirmu”

september-januari 2010

 
(Sajak untuk ummu Hanifah)

Sore ini gerimis
Merinai seperti yang kau harap
Meski tanpa pelangi
Tanpa dewi-dewi menari-nari
Di atasnya

Sore ini kelabu membalut
Langit kita
Tanpa bias mentari 
Menjemput senja 
seperti biasanya
Tanpa kerling harapmu
Di ujung mata

Sore ini "mengapa cinta tiba-tiba hadir"
Melengkapi gerimis
Mengirim kebekuan
Membingkai kelabu potret
Dirimu dalam album 
Perkawinanku

Sore ini, bayangmu kembali melintas, Bung!

Langit Lembang 15092011

 
katamu
kau ingin menyebrang dari sepimu
menumpang
pada selembar surat
menjadi perahu kertas yang kau hanyutkan
melintasi selat yang membelah
dua sisi
antara kau dan aku
antara rambutmu dan rambutku
antara gaunku dan pantalonmu

sayangnya
ombak besar membuat
perahu kertasmu karam
sebelum tiba di tepi
sebagian kalimatnya
luntur
hingga tak selesai kubaca

atau

mungkin tak selesai kautulis



maret 2010

 
Pagi ini
ingin kujemput kisahmu
menaiki roda yang bundar
biarkan ia sesukanya menggelinding
melindasi bebatu
melampaui jalanan berliku

lalu perlahan
kuseduh kisahmu
kutitipkan pada awan
yang menghitam
biarkan ia turun menjadi hujan
agar memandikan
pelataran tempatmu menari

malam ini tak kuasa
ingin kucumbu dirimu
menghisapmu
melumat kisahmu
menjadikannya desir
yang membisiki
putaran waktu yang kita kejar

maret 2010

 
oleh Nani S. Karyono pada 28 Februari 2010 jam 12:12

Selamat siang, Tika Januarti…. 

Hujan baru saja reda. 

Bekasnya belum mengering. Masih menggenangi pekaranganku, membuat becek, dan noda. Ah, baiknya kubiarkan saja. Aku tak berniat membuatnya kering seketika. Aku percaya, seiring waktu dan tatapan matahari, basah perlahan akan menguap, alami, dengan sendirinya. 

Kau tahu, musim penghujan terkadang membuat kita jadi serba salah. Hujan yang terlalu lama dan deras, menahan kita tuk bepergian, terkungkung, hanya diam di tempat. Lalu tanpa disadari, kita merindukan musim kemarau. Padahal sama saja, ketika akhirnya datang, musim kemarau membuat tubuh menjadi kering, kusam, dan haus. Terkadang membuat kepala pening juga. Terlebih kemarau yang teramat panjang, membuat suntuk. 

Saat hujan seperti ini, aku rindu dirimu. 

Sangat. Terutama pada sejumlah kenangan yang kita lalui bersama di saat hujan. Seringkali karena malas membawa, kau pinjami aku payung. “Nih, makanya bawa payung, jadi gak keujanan.” Begitu katamu, bernada marah yang tak serius. Aku cukup membalasnya dengan tersenyum, tak apalah dimarahi, toh payungmu tetap kupinjam juga. Biasanya karena telah larut dan aku harus pulang. Payungmu, -yang bergambar bunga sakura itu- memang telah beberapa kali menyelamatkanku dari derasnya hujan. Setidaknya, tak terlalu kuyup. Payung yang memang selalu ada dalam tasmu, tak perduli akan hujan atau terik. Hingga akhirnya, di kemudian hari, memori tentang payung acapkali menyadarkanku untuk tak usah pergi jika tak bawa payung. Ya, dirimu dan payung itu…makin kukenang. 

Pekaranganku belum lagi kering benar, malah sepertinya akan hujan lagi. Duh, Bisa apa aku menolak musim? Sungguhpun guyuran hujan membuatku jemu, kuyup, lelah dan terpancang. 

Aku ingat. Serupa dulu ketika kuterjebak di ujung gang. Berdiri tercenung, meneduh di emper warung rokok Pak Nana. Alangkah menjemukan, menunggu hujan reda yang entah sampai kapan. Ada beberapa orang waktu itu, semuanya lelaki. Sebagian melewatkan dingin dengan mengisap rokoknya dalam-dalam. Lainnya bersidekap dengan pandangan yang menerawang, entah memikirkan apa. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Pak Nana sendiripun sembunyi saja di dalam warungnya sambil mengisi teka teki silang. Kelihatannya Sedang malas untuk bekomunikasi. Tak usah kusebutkan bahwa waktu itu aku amat kedinginan. 

Lalu tiba-tiba sang penyelamat itu datang. Kau menjemputku, dengan payung itu. Entah, mungkin ilmu telepati atau kemistri atau apa namanya. Acapkali, ketika wajahmu melintas dalam pikiranku, aku amat meyakini terjadi juga hal yang sebaliknya (Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, ketika aku ingat dirimu, maka henpon ku akan bergetar, lalu muncul namamu dalam layar). “Berani- beraninya pergi gak bawa payung!”. Begitu katamu memarahiku. Selanjutnya, kalimat-kalimat lain berhamburan sepanjang gang yang kita lewati hingga menuju rumahmu. Ha..ha..ha..saat itu suaramu terdengar lebih mirip bunyi radio yang batrenya hampir habis dengan lagu yang itu-itu saja, kadang keras kadang tak terdengar. Entah apalagi yang kau ucapkan saat itu, aku sudah lupa. Seperti biasanya, aku tak perduli. Pikiranku telah terlebih dahulu dipenuhi bayangan kasurmu yang menggeletak di lantai, hangatnya selimut tebal, dan camilan yang selalu ada di mejamu bersama setumpuk novel kesukaanmu. Dan tentu saja yang amat kurindukan hingga kini adalah secangkir kopi susu hangat yang kemudian kita nikmati bersama, secangkir berdua… 

Hujan dan payungmu yang bergambar bunga sakura. 

Kemarin sengaja aku melintas di warung rokok Pak Nana. Di ujung gang bekas rumah lamamu. Kuamati warungnya, empernya, masih seperti yang dulu, tak ada yang berubah. Aku berdiri sejenak, menikmati, untuk mengenang saat-saat indah itu. Betapa meluapnya kegembiraanku tatkala kuberpayung denganmu, menembus, melabrak hujan yang deras. Guyuran air hujan membasahi ujung celana panjangku, lengan kemejaku, sandal kita, juga rokmu yang berwarna ungu. Sepertinya, saat itu aku bahkan diam-diam berterima kasih telah hujan. Amat kunikmati suasana hujan, begitu mengasyikan….Tapi sudahlah, aku tak berani berlama-lama. Harus segera pergi karena betapapun lamanya aku berdiri di sana kau bahkan tak kan sempat menjemputku.. 

Masih hujan dan payung. 

Yang satu membuat basah, satunya lagi untuk melindungi agar tak basah. Nampaknya bertentangan, tapi berpasangan. Selalu ada dalam kesempatan yang sama. “Sedia payung sebelum hujan”, begitu bunyi ungkapannya. Ah, kulihat dimana ya tulisan itu? Di buku-buku SD, di toko barang kelontong, tertera pada stiker, di…ah, di banyak tempat barangkali. Tapi yang jelas, tulisan itu bersemayam dalam hatiku sejak aku selalu bersamamu. 

Bicara soal berpasangan, kita memang bukan pasangan. Dan kita tak pernah mengakui menjadi pasangan, begitu katamu. Dalam beberapa hal kita memang jauh berbeda. Tapi sekalipun begitu, kita tak berniat untuk membuatnya menjadi seragam, bukan?. Aku menghargaimu jika tetap fanatik dengan warna ungu. Sungguhpun dalam keyakinanku warna ungu melambangkan keangkuhan, dingin dan sulit diajak berkomunikasi. Aku tak pernah keberatan jika kau memutar musik klasik di kamarmu. Musik yang monoton jika diputar terus menerus, kataku. Kau juga bilang menyukai film horror. Sungguh selera yang aneh untuk gadis secantik dan selembut dirimu. Tapi apapun, bagiku setiap pribadi berhak untuk memiliki perbedaan dengan diriku. Betapapun, hingga akhirnya kita menyadari barangkali hal-hal demikian yang membuat kita tetap bersama, kau adalah dirimu, dan aku adalah diriku, tanpa memperuncing sejumlah perbedaan. 

Begitu sibuknyakah engkau? Selamat menuai hari yang selalu sibuk, Say.. 

Ketika menelepon, kau katakan harimu begitu padat. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan, sejak fajar hingga larut. Memang, dengan begitu banyak status sosial yang kau sandang, tentulah amat sibuk, tak punya banyak waktu, bahkan untuk melihat album foto kita sekalipun. Kau juga mengatakan sedang bekerja keras untuk mengejar impianmu, sesuatu yang amat kau idamkan sejak dulu. Sebuah cita-cita yang aku meyakininya akan dicapai olehmu, suatu saat, mungkin tak berapa lama lagi. 
“Tak usah dipikirkan, hanya untuk kau pahami,” begitu ucapmu suatu ketika. Sebuah ungkapan yang mengandung ribuan makna, bagiku. Bagaimana mungkin aku tak berusaha memahamimu. Sejak dulu, sungguh, aku sangat memahamimu. Tanpa kau minta, selamanya, sampai kapanpun. Tapi pemahaman tak bisa muncul begitu saja tanpa sebuah penjelasan, sanggahku. Aku berharap kau mengijijkanku mengintip dari lubang kecil di jendelamu untuk mensyukuri sejumlah kesibukan yang tengah membuatmu bahagia. Menurutku cukup adil karena aku tak mengganggu aktivitasmu, bukan? 

Sekali lagi, aku berupaya memahamimu. Karenanya, meski sangat ingin berbagi, aku tak kan membebanimu dengan menceritakan betapa derasnya hujan mengguyur pekaranganku. Bahkan, telah melongsorkan beberapa bukit di sebelah sana… 

Hujan baru saja reda, tapi tidak dengan rasa dinginnya… 

Hujan selalu menyisakan hawa dingin. Alami bukan? Di puncak bukit, di ketinggian yang dikelilingi pepohonon dengan sisa air hujan yang masih menggelayut diantara ranting dan daun-daunnya: dapat kau bayangkan, aku berada di sana! 

Sedianya, hati kecilku ingin meneleponmu. Tapi kabarnya, sinyal di tempatmu tak begitu baik. Sinyal yang tak stabil selalu menghasilkan jawaban sms yang permanen: “Iya, terima kasih”. Ah, sinyal yang menyebalkan! 

Oleh karenanya, dengan berat hati, hanya bisa kukabarkan padamu: dari jendela kamarku, langit Lembang berwarna abu pucat. Arak-arakan mobil lalu lalang yang pergi dan pulang dari jantung kota Lembang. Kota yang menawarkan romantisme karena kesejukannya, kata sebagian orang. Sembari menatap panorama Bandung, dan genting-genting rumah yang nampak dari sini: Selamat siang, Say... Sedang apa disana? 

Langit Lembang, februari 2010 

“Kau dengan dirimu saja, kau dengan duniamu saja.., teruskanlah…’ 
dari AGNES MONICA: teruskanlah.. 

 
tak perlu kau hapus
karena jejak itu hanya
seoles
menempel pada cangkir kopi
yang kau pinjamkan

mari,
menyeduh kopi
agar mentari tak terlampau beringas
melahap keringat

mari,
menyeruput kopi
untuk senja yang berlama-lama menjemput malam

mari,
ini punyamu, mana cangkirku?




Februari 2010

 
oleh Nani S. Karyono pada 14 Februari 2010 jam 8:12

Selamat pagi, Tika Januarti… 
Minggu pagi ini langit tak biru benar. Ada sedikit abu-abu yang membias. Tapi agaknya sudah cukup untuk menghangatkan langit Lembang yang selalu lembab sejak beberapa hari yang lalu. 

Aku rindu dirimu, Say. 
Sepagi ini sudah rindu ya? Hmh….ya, seringkali perasaan rindu muncul begitu saja bila aku bertemu warnamu, ungu. Tak bisa kuelakkan, tak bisa kuhentikan, meski tengah kugenggam warna lain, oranye misalnya. 

Apa kabar dirimu sekarang? 
Biar, aku tak hendak membayangkan dirimu menjadi bertubuh tegap dan berdada bidang. Atau mungkin antara ingin dan tak ingin. Ah, tak kuhirau bila dirimu tetap hadir dalam wujud yang ringkih. Toh dalam imajiku yang paling dalam, kau tetap perkasa. Tetap mampu merengkuh, memeluk diriku. Tetap mampu menyentuh bahuku yang berguncang tatkala menahan isak. 

Minggu pagi ini aku ingin mengajakmu menyeruput secangkir kopi susu, yang kala itu sering kita nikmati disaat senggang. Entah, selalu tak kupahami alasannya, untuk secangkir kopi susu, aku ingin mereguknya, berdua saja denganmu. Heran. Ya, Lebih mengherankan lagi, sayangnya, aku ingin melakukannya setiap hari. Duh, itulah susahnya! Tentu sebuah pilihan yang tak mungkin. Sebuah pilihan yang sulit, yang hingga hari ini tak kupahami benar … 

Begitulah Say…, kadang aku begitu memaksa untuk sebuah pilihan yang tak mudah, bahkan tak seharusnya kupilih. Saat itu, dalam suasana yang serupa ini kau akan berkata: “Ih, kamu ini, Koem….”. Lalu aku menatapmu dan memohon dibolehkan….. Setelah itu, aku mulai beragumen, apa saja kukatakan. Selanjutnya, kau akan diam dan meninggalkanku untuk melakukan aktivitas lain. Akhirnya aku berhenti memohon dan berkata: “Ya, takkan kulakukan….”. Kureguk kopi susu buatanmu… 

Apa kabar dirimu yang ringkih? Pabila mungkin, ingin kuhabiskan minggu ini mendengar resensimu tentang novel yang kemarin kau baca. Pasti, kujamin kau ahlinya dalam hal ini. Biasanya, aku menyimaknya sembari berbaring di kasurmu yang tergeletak begitu saja di lantai. “Siapa saja tokohnya”, “Terus bagaimana dia bisa jatuh cinta pada pada si gadis itu?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang meluncur sembari kukrauk cemilan yang kau sajikan. Hingga akhirnya kau menamatkan dongengmu…Ah…lagi-lagi pilihan yang tak mungkin, meski amat kurindu! 

Kenyataannya, saat ini begitu menyebalkan ketika kau bilang “Baca aja novelnya sendiri, bagus kok ceritanya”. Haduh…Makin menyebalkan lagi ketika SMS mu berbunyi: “sudah dibaca?” Aku membanting novelmu: “Belumm semmpaat…” tapi tak berapa lama kupungut lagi…..Ah, dirimu dan novel. 

Beberapa capung tengah bercengkrama, melintas di luar jendela kamarku. Dari jendela kamar, panorama kota Bandung cerah, benderang, menggoda untuk dikunjungi. Lupakan saja, tak berniat kutengok. Saat ini, aku sedang ingin bercengkrama denganmu, seperti capung-capung itu…Ah, tentu pilihan yang tak mungkin juga!! tak mungkin... 

Tepat pukul delapan pagi. Selamat beraktivitas, Say.. 

Langit Lembang, 14 February 2010 

 
oleh Nani S. Karyono pada 28 November 2009 jam 17:51

aku menunggu
secangkir kopi pahit, mungkin
secangkir kopi susu, entah
secangkir teh, tak apa
kusandingkan dengan
seiris brownies penuh rayu coklat
sepisin kacang telur
bergemeretak ketika kukunyah bersama kenangan
dan sepotong pisang goreng
tak bosannya bermain mata menggoyahkan dietku
ahh..

aku menunggu
rona merah muda di kedua pipiku
saat fajar semburat
aroma tanah ditinggal gerimis siang
semerbaknya melumati bibirku tanpa gincu
dan gelungku yang terurai
menanti cumbuan
kala senja bersalin pekat

aku menunggu
hari kemarin
dan kemarinnya lagi
berbalut sweater coklat tua
sudut sebuah cafe
ditemani koran harian pagi
yang tanggalnya lupa tercetak

(2009)

 
oleh Nani S. Karyono pada 23 November 2009 jam 12:32

butiran permata luruh
bersama syair yang kau dendangkan.
berkilauan,
kau untai dengan kejora
yang kau sematkan pada kerling mataku,
dan aku terpesona.
dihembus aroma kutum melati,
bulir-bulir oksigen yang menggelayut di setiap helai rambutku,
kau hirup.
hingga benderang:

indahnya pelangi yang bersandar pada bibir mendung,
dan kita khusyu menatapnya.
ditemani sisa gerimis yang kita sulam
melenakan alasan sepasang rusa tuk bercumbu.
berteduh pada senja,
yang semakin molek pada pangkal malam,
dan aku percaya.

kemudian,
mentari menumpang pada arak-arakan bumi.
menapaki angka-angka almanak.
hingga gemerlapmu meleleh
membaluti riwayat tentang gemintang yang berbinar,
kala langit berurai air mata.
tentang mawar merah yang merekah,
dibanjur derasnya hujan.
dan aku percaya,
hingga kemarin.

(2009)


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,