kau dari keraton dan aku rakyat jelata
kau berdarah biru aku berdarah kaku
demikianlah hidup dibedakan
hanya di depan Tuhan sajalah semuanya jadi sama
Iwan Ardhie Priyana
sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
karena kita berbeda
kau dari keraton dan aku rakyat jelata kau berdarah biru aku berdarah kaku demikianlah hidup dibedakan hanya di depan Tuhan sajalah semuanya jadi sama Iwan Ardhie Priyana
0 Comments
Malam putih setelah hujan Yang mengalir dalam sunyi adalah namamu Menjelma dalam alunan perdu malam putih setelah hujan meninggalkan jejak namamu di daun bayangan yang memudar berlalu dengan waktu saat ingin kupanggil kembali, tapi rindu bagai batu lalu setelah itu semakin pekat, termangu Iwan Ardhie Priyana dari kegelapan yang menjelang sempurna
maka sia-sialah aku bila tak sempat mengeja kata-kata yang sering kau lantunkan di dinding kayu rumah kita dari sanalah engkau menuliskan bait-bait, kehidupan, keabadian semesta; sementara sang waktu memberkatimu dengan mahkota perak di kepala dari kegelapan yang menjelang sempurna ibu, ajari daku kembali mengeja kebesaran cinta agar aku kenali ke mana air bermuara dan ke mana angin mengembus putik bunga Iwan Ardhie Priyana ada rindu yang berserak
diantara kepingan waktu kau mau memungutnya satu untukku? di sini kita tersesat di belantara syair cinta
mencoba mengenang kembali serpihan cinta masa muda yang seakan di pelupuk mata tiba-tiba kita semua seakan ingin waktu berputar ke masa lalu menikmati hari ini dengan sisa cerita dan mengemasnya kembali dalam puisi Sambil mengunyah sepotong mimpi yang ranum
Ku panggili namamu di belantara sepi Tapi selalu saja suaraku tersangkut pada cemara Yang menari Bulan rawan menyeret gelisahku perlahan Menyusur padang malam yang luas, O, kucium wangin rambutmu Tapi, selalu sia-sia ku panggili namamu Hingga lelah dan aku tergolek dirangkulan pagi Yang membawaku mendaki titian hari-hari yang layu Muararajeun Baru, Bandung 1981 (Puisi lawas) Tulis saja keresahanmu di sini sahabat
mungkin langit mendengar mungkin ada sekeping hati yang mau berbagi di tenah kebisingan dan hirur pikuk kepalsuan tulis saja gundahmu di sini sahabat dan mari kita berbagi sekeping kata dan sekeping makna Cahaya lilin telah di nyalakan
Laron-laron yang terpesona oleh silaunya mencoba mencari kehangatan Lalu , satu demi satu berjatuhan, dengan tubuh lebam dan sayap menggelepar Tak sempat berkirim kabar, atau telegram , sampai akhirnya cahaya lilin itu memudar Meninggalkan gumpalan putih seperti awan Tapi, laron-laron masih juga berseliweran, Mengais-ngais sisa mimpi dan harapan Iwan Ardhie Priyana Nagreg, 10 September 2011 |