sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
tak perlu kau hapus
karena jejak itu hanya
seoles
menempel pada cangkir kopi
yang kau pinjamkan

mari,
menyeduh kopi
agar mentari tak terlampau beringas
melahap keringat

mari,
menyeruput kopi
untuk senja yang berlama-lama menjemput malam

mari,
ini punyamu, mana cangkirku?




Februari 2010

 
oleh Nani S. Karyono pada 14 Februari 2010 jam 8:12

Selamat pagi, Tika Januarti… 
Minggu pagi ini langit tak biru benar. Ada sedikit abu-abu yang membias. Tapi agaknya sudah cukup untuk menghangatkan langit Lembang yang selalu lembab sejak beberapa hari yang lalu. 

Aku rindu dirimu, Say. 
Sepagi ini sudah rindu ya? Hmh….ya, seringkali perasaan rindu muncul begitu saja bila aku bertemu warnamu, ungu. Tak bisa kuelakkan, tak bisa kuhentikan, meski tengah kugenggam warna lain, oranye misalnya. 

Apa kabar dirimu sekarang? 
Biar, aku tak hendak membayangkan dirimu menjadi bertubuh tegap dan berdada bidang. Atau mungkin antara ingin dan tak ingin. Ah, tak kuhirau bila dirimu tetap hadir dalam wujud yang ringkih. Toh dalam imajiku yang paling dalam, kau tetap perkasa. Tetap mampu merengkuh, memeluk diriku. Tetap mampu menyentuh bahuku yang berguncang tatkala menahan isak. 

Minggu pagi ini aku ingin mengajakmu menyeruput secangkir kopi susu, yang kala itu sering kita nikmati disaat senggang. Entah, selalu tak kupahami alasannya, untuk secangkir kopi susu, aku ingin mereguknya, berdua saja denganmu. Heran. Ya, Lebih mengherankan lagi, sayangnya, aku ingin melakukannya setiap hari. Duh, itulah susahnya! Tentu sebuah pilihan yang tak mungkin. Sebuah pilihan yang sulit, yang hingga hari ini tak kupahami benar … 

Begitulah Say…, kadang aku begitu memaksa untuk sebuah pilihan yang tak mudah, bahkan tak seharusnya kupilih. Saat itu, dalam suasana yang serupa ini kau akan berkata: “Ih, kamu ini, Koem….”. Lalu aku menatapmu dan memohon dibolehkan….. Setelah itu, aku mulai beragumen, apa saja kukatakan. Selanjutnya, kau akan diam dan meninggalkanku untuk melakukan aktivitas lain. Akhirnya aku berhenti memohon dan berkata: “Ya, takkan kulakukan….”. Kureguk kopi susu buatanmu… 

Apa kabar dirimu yang ringkih? Pabila mungkin, ingin kuhabiskan minggu ini mendengar resensimu tentang novel yang kemarin kau baca. Pasti, kujamin kau ahlinya dalam hal ini. Biasanya, aku menyimaknya sembari berbaring di kasurmu yang tergeletak begitu saja di lantai. “Siapa saja tokohnya”, “Terus bagaimana dia bisa jatuh cinta pada pada si gadis itu?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang meluncur sembari kukrauk cemilan yang kau sajikan. Hingga akhirnya kau menamatkan dongengmu…Ah…lagi-lagi pilihan yang tak mungkin, meski amat kurindu! 

Kenyataannya, saat ini begitu menyebalkan ketika kau bilang “Baca aja novelnya sendiri, bagus kok ceritanya”. Haduh…Makin menyebalkan lagi ketika SMS mu berbunyi: “sudah dibaca?” Aku membanting novelmu: “Belumm semmpaat…” tapi tak berapa lama kupungut lagi…..Ah, dirimu dan novel. 

Beberapa capung tengah bercengkrama, melintas di luar jendela kamarku. Dari jendela kamar, panorama kota Bandung cerah, benderang, menggoda untuk dikunjungi. Lupakan saja, tak berniat kutengok. Saat ini, aku sedang ingin bercengkrama denganmu, seperti capung-capung itu…Ah, tentu pilihan yang tak mungkin juga!! tak mungkin... 

Tepat pukul delapan pagi. Selamat beraktivitas, Say.. 

Langit Lembang, 14 February 2010 

 
oleh Nani S. Karyono pada 28 November 2009 jam 17:51

aku menunggu
secangkir kopi pahit, mungkin
secangkir kopi susu, entah
secangkir teh, tak apa
kusandingkan dengan
seiris brownies penuh rayu coklat
sepisin kacang telur
bergemeretak ketika kukunyah bersama kenangan
dan sepotong pisang goreng
tak bosannya bermain mata menggoyahkan dietku
ahh..

aku menunggu
rona merah muda di kedua pipiku
saat fajar semburat
aroma tanah ditinggal gerimis siang
semerbaknya melumati bibirku tanpa gincu
dan gelungku yang terurai
menanti cumbuan
kala senja bersalin pekat

aku menunggu
hari kemarin
dan kemarinnya lagi
berbalut sweater coklat tua
sudut sebuah cafe
ditemani koran harian pagi
yang tanggalnya lupa tercetak

(2009)

 
oleh Nani S. Karyono pada 23 November 2009 jam 12:32

butiran permata luruh
bersama syair yang kau dendangkan.
berkilauan,
kau untai dengan kejora
yang kau sematkan pada kerling mataku,
dan aku terpesona.
dihembus aroma kutum melati,
bulir-bulir oksigen yang menggelayut di setiap helai rambutku,
kau hirup.
hingga benderang:

indahnya pelangi yang bersandar pada bibir mendung,
dan kita khusyu menatapnya.
ditemani sisa gerimis yang kita sulam
melenakan alasan sepasang rusa tuk bercumbu.
berteduh pada senja,
yang semakin molek pada pangkal malam,
dan aku percaya.

kemudian,
mentari menumpang pada arak-arakan bumi.
menapaki angka-angka almanak.
hingga gemerlapmu meleleh
membaluti riwayat tentang gemintang yang berbinar,
kala langit berurai air mata.
tentang mawar merah yang merekah,
dibanjur derasnya hujan.
dan aku percaya,
hingga kemarin.

(2009)

 
oleh Nani S. Karyono pada 16 November 2009 jam 21:21

“Selamat pagi di mejamu”
  kaukah menu hari ini?
  sepotong fajar, setengah matang.
  secangkir huruf yang kau seduh.
  koran pagi ini: cake dengan sebuah chery di atasnya.
  koran kemarin:
  cake dengan sepuluh chery di atasnya.
  koran kemarinnya lagi:
  cake dengan seratus chery di atasnya,
  selamat menikmati!
  “apa yang anda pikirkan”
  kaukah cerita itu?
  sebaris kalimat yang hurufnya tak lengkap,
  karena korannya kau buat jadi pesawat.
  dan kalender yang terbagi dua belas:
  lalu dua irisnya tengah kau pantunkan.
  selamat menyimak!
  ah,
  koran dan kalender telah membuatku obesitas!
  aku harus diet, sayang.
  (2009)

 
oleh Nani S. Karyono pada 11 November 2009 jam 18:51

  Sayang
  kata temanku,
  kini malam tak sungguh gulita,
  sebab ia bersahabat dengan lampu kota.
  gemintang pun tak lagi tinggi,
  hampir bersalaman dengan pohon kersen,
  di halaman belakang rumah kita.
  jadi bolehkah jika ingin kusimpan sebutir,
  di saku bajuku,
  dekat dada?
  (sigaretmu sisa sepotong,
  kau tinggalkan di asbak, sore tadi)
  Sayang
  kata temanku,
  siang berasa makin terik,
  jika tertinggal caping.
  dan fajar baru saja bersepatu,
  menantang adu lompat.
  jadi aku mesti bergegas,
  bis antar kota enggan menunggu.
  kondekturnya pasti berteriak,
  karena penumpangnya telah penuh sesak!

    (kemejamu tergantung di kapstok,
  bekas kemarin)

    (2009)

 
oleh Nani S. Karyono pada 08 November 2009 jam 19:00

sebentar lagi kelam membungkus senja
lampion-lampion mulai dinyalakan
gemintang berkedip-kedip: memunggu isyarat
di cangkirmu teh bersisa separuh
dingin, tak kau toleh

sejak senja mulai bersolek
“aku harus meninggalkan Kyoto” ucapmu,
seraya meremas jemariku, yang ujungnya  berasa membeku
hening
mengantar kanzashi berayun, tatkala ku mengangguk
merangkul dua huruf amat paling ku benci:

ya
setelah itu suaramu terdengar menyayat
menikam
mengoyak hasrat
perlahan menggeretakkan pingganku
krim di dalamnya mulai menetes
menggenang pada hamparan kisah

kutahu
dawai shamisen akan bergetar merendah
dn lampu kamarku pun padam!

(2009)

(Memoirs of Geisha # 2)

Shamisen = alat musik semacam gitar

Kanzashi = ornament rambut

 
oleh Nani S. Karyono pada 01 November 2009 jam 19:47

angin mengibarkan syalku.
mengajak lengan cemara menari,
rampak mengalun, di sekeliling bangku kita.
gemerisik.., helai rambutku
mulai bersentuhan, berangkulan, berayun,
menyenandung…

dibarengi gemintang, lampu taman menatapku cemburu,
tatkala kau rengkuh …..gelisahku.
sekali lagi, …desir angin bercengkrama dengan gerai rambutku,
meliuk-liuk…
“tak apa, kau akan terbiasa,” katamu.
lalu jemarimu lembut menyelusup di sela-sela rambutku,
merayap, …menelusuri…memilin ujung rambutku…

Duh!
lampu taman kian cemburu padaku,
kali ini bersekutu dengan dingin,
angkuh.
“sebentar lagi bulan desember, “ katamu.
tiba-tiba aku tersedak musim!
menggigil….
“biasanya salju akan turun,” katamu lagi.
terasa, aku terjerembab dalam detik.

mengapa ada benua?
di belakang bangku kita, ilalang sibuk mengobrol
tentang ucapan perpisahan dalam berbagai bahasa.
entahlah, mungkin mendengung, melengking atau sejenisnya!
bagai bunyi lokomotif kereta yang hendak kau naiki.
lalu tampak asapnya bergumpal-gumpal,
mengembun pada kaca-kaca
jendela-jendela
yang baru saja beku…
Bung, mengapa ada kereta?

(2009)

 
(Sajak untuk Iwan AP)

Sedang kutimang huruf-huruf
Menunggu ia jatuh
Tertidur
Dalam mimpimimpi
Yang digendong bidadari cantik
Manis
Indah

Ayo senandungkan kidungnya, Bung.
Relakan ia beristirahat
Setelah bekerja keras merangkai puisi dan prosa
Untuk tuannya:
Para pujangga yang selalu
Jatuh cinta

Langit Lembang 10092011
 
oleh Nani S. Karyono pada 28 Oktober 2009 jam 20:09

  rincik
  rebah di kaca jendela, ruang kita
  bingkainya melepuh
  senja bersikukuh
  mengantarkan secangkir teh yang kita reguk
  butirnya menyeruak
  berpendar dalam setiap desah


  basah

  menyergap ujung dahan
  yang bunganya kita untai siang tadi
  “untuk geishaku,” bisikmu di sela-sela anak rambutku
  seraya menyisipkan
  kuntum, pada gelung rambut yang kubuat
  harumnya telah merekahkan kelopak rinduku


  rincik

  rebah pada cangkirku
  bingkainya bergetar, butirnya meluap
  mengendap desir,  menyampaikan sayup
  melambai pada sudut asa
  yang telah kutitipkan
  gincu di bibirmu
    (2009)

(MEMOIRS OF GEISHA....#1)



sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,