sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
Cerpen    :  KEPALA

Karya     :  SUTAN IWAN SOEKRI MUNAF

Kepala yang tampan itu, tiba-tiba menolak untuk bertengger di atas leher. Sorot mata tajam dengan bibir menggerinyai dan terdengar bunyi gemeretuk gigi. Namun tulang ujung pangkal leher masih mencoba menahan Kepala itu.                        

"Tidak! Aku sudah muak dalam posisiku sebagai Kepala. Aku ingin bebas!," teriak Kepala dengan lantang sambil menggeliatkan dari cekalan tulang ujung pangkal leher.              

"Kamu tidak boleh pergi. Tanpa kamu, kami bukan apa-apa," kata tubuh mewakili anggota badan yang lainnya.                        

"Tidak! Kini saatnya aku harus memerdekaan diri dari kalian."              

Melihat gelagat kekeras-kepalaan Kepala, maka Tangan Kanan dan Tangan Kiri sigap terangkat ke atas dan langsung memegang Kepala. Kepala berontak dari cekalan Tangan Kanan dan Tangan Kiri. Akibatnya sebagian rambut tercerabut. Tangan Kanan dan Tangan Kiri semakin merangsek dan megang erat-erat Kepala. Terjadi tarik-menarik. Sekuat tenaga. Keringat pun mengucur. Cekalan Tangan Kanan dan Tangan Kiri pun jadi licin. Sering tergelincir. Kepala masih tetap berusaha melepaskan cekalan. Tangan Kanan dan Tangan Kiri pun memiting Kepala. Kepala pun terpelintir.                 

Saat Kepala terpelintir itu, terlepas cekalan tulang ujung pangkal leher. Seketika Kepala melompat dari posisinya. Tangan Kanan dan Tangan Kiri kaget. Mereka berusaha menangkap. Tapi Kepala sudah berguling-guling ke trotoir.                 

Kaki Kanan dan Kaki Kiri mencoba berlari membantu Tangan Kanan dan Tangan Kiri menangkap Kepala.                  

Kepala makin cepat berguling dari trotoir menuju aspal.                        

Tubuh tanpa Kepala itu pun semakin hasrat menangkap Kepalanya yang telah melepaskan diri dari ikatan ketubuhannya dengan Tubuh. Namun Tubuh itu memang sudah tak ada Kepala lagi, maka langkah Kaki Kanan dan Kaki Kiri pun tidak seirama.                       

Kaki Kanan melagkah ke arah Barat, Kaki Kiri melangkah ke arah Timur. Tubuh terperangah!             

*                     

Kepala yang bergulingan sudah hilang tampannya. Wajahnya sudah baret-baret dimakan aspal. Namun kegembiraannya menjauh dari Tubuh, tidak terasa nyeri akibat baret-baret di kulit wajahnya. Sejumlah debu pun sudah mengotori rambut, wajah dan seluruh bagian Kepala.                    

Setiba di persimpangan, Kepala pun kaget. Ternyata di Jalan Sudirman sudah bergelumuk-tumuk berbaris, atau mungkin bukan berbaris, tapi lebih tepat bertumpuk-tumpuk dengan Kepala-Kepala lainnya. Mereka bergerak atau lebih pasnya, bergulingan, menuju Utara.                   

Tampak itu ada Kepala Satpam yang kumisnya baplang menyeringai di antara tumpukan Kepala-Kepala. Ada juga Kepala Kantor yang terdorong ke pinggir, sehingga hampir menabrak batang pohon angsana di jalur hijau pembatas Jalan Sudirman. Untung tertahan oleh beton.

Wajah Kepala Kantor menyeringai.

Di bawah jembatan penyeberangan Setiabudi, tampak Kepala Rumahtangga berusaha keras bertahan dari aliran deras Kepala-Kepala yang mengalir ke arah Utara. Semua itu diperhatikan seksama oleh Kepala.

"Sedang mengapa mereka?" tanya Kepala begitu saja.

"Kita sedang pawai!" ujar Kepala Pemerintahan yang kebetulan melintas di sekitar itu.

"Bukan. Ini sedang demonstrasi!" bantah Kepala Partai Besar sambil membawa spanduk besar bertuliskan: Telor 1 Kg Rp 7.000, Partai Besar bisa Rp 5.000. Bisa diantar ke rumah.

"Demonstrasi?" gumam Kepala tidak mengerti.

"Demonstrasi? No. No, Friend! Nehi! Kita lagi lagi lakukan reformasi," kata Kepala Partai Kecil yang mengibarkan spanduk bertuliskan: Pilih Partai Kecil saja, kalau duit anda hanya Rp 7.000!

"Reformasi?" lagi-lagi gumam Kepala sambil beringsut menuju kumpulan Kepala-Kepala yang mengalir itu.

"Ya. Ya. Kami sedang melakukan reformasi damai," ujar Kepala Dapur yang masih mengenakan topi kokinya.

Kepala makin bingung. Pawai? Demonstrasi? Reformasi? Reformasi damai? Kepala tidak mengerti maksud mereka. Kepala tidak paham akan isi Kepala-Kepala mereka. Tapi Kepala makin tergerak akan kerumunan massa yang mengalir menuju Utara.

Kepala merasakan didorong dari belakang, digencet dari samping dan tertahan di depan. Aliran itu mampet, seperti ada yang menahan aliran ini.

"Aduh! Sakit! Jangan dorong aku!" teriak Kepala.

"Kamu ini Kepala apa sih? Cengeng amat!" kata Kepala Polisi yang ikut berguliran dengan petnya yang khas.

Kepala menyeringai. Tampak sorot malu. Di sini Kepala-Kepala yang berguliran, mengalir dan berdesak-desakan itu, tidak ada yang mengaduh. rasa sakit cuma ditahan. tak pernah dikeluarkan. Rasa kesal cuma ditahan, tanpa dikeluarkan. Rasa bebal cuma ditahan, tanpa dikeluarkan.

"Kamu pasti Kepala baru, ya?!" tanya seorang Kepala Guru yang berusaha menjungkir-balik menuju arah Kepala.

"Ah, ya, ya, ya!" jawab Kepala gagap juga.

Tiba-tiba Kepala yang dihadapannya berputar ke arahnya. Tampak Kepala Redaksi menatapnya heran.

"Kalimat anda kurang baik redaksionalnya. Coba baca buku panduan EYD," katanya tenang, tanpa mengacuhkan suasana yang hiruk-pikuk.

Kepala pun makin bingung. Dia berguliran, mengalir, terbawa ke Utara dan suasana tetap tidak bergerak. mampet. Bergulir yang tidak bergerak. Mengalir yang diam. Tergencet. Berdesakan.

"Aku cengeng? Kepala Baru? Redaksional kurang baik?" kembali gumam itu terucapkan dari Kepala.

Gumam itu tak diperhatikan lagi oleh Kepala-Kepala di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar.

"Aku ini Kepala Batu. Aku ingin pimpin kalian. Kita tidak boleh macet tergencet begi!" teriak Kepala Batu yang penuh karang dan menghitam legam wajahnya.

Semua Kepala-Kepala secara reflek mengarah pada Kepala Batu.

"Tidak! Tidak ada pimpinan di sini. Kita masing-masing Kepala. Kita masing-masing pimpinan," kata Kepala Kalimat memotong dengan suara tak kalah menggelegarnya.

Semua Kepala-Kepala secara reflek mengarah pula pada Kepala Kalimat.

Kepala makin bingung.

Dari atas jembatan penyeberangan Setiabudi, bertengger Kepala Negara di sana. Dia berteriak dengan bantuan megaphone.

"Saudara-saudara seper-Kepala-an! Kalian tenang! Tenang!" ajak Kepala Negara ramah.

Semua Kepala-Kepala secara reflek mengarah pula pada Kepala Negara.

"Kata pepatah kepala boleh panas, tapi hati dingin di sini tak berlaku, saudara-saudara seper-Kepala-an. Kita sebagai Bangsa Kepala, sudah terpisah dari tubuh. Hati hanya ada di tubuh. Namanya lever. Itu pusat sakit para Kepala-Kepala. Nah, sekarang kita bisa bebas dari lever, dari sakit parah itu. Kita nggak perlu lagi takut pada jantungan. Kita tak perlu takut lagi pada asthma. Kita semua bebas. Bahkan kita bisa bebas dari AIDS atau HIV. Yang kita punya sekarang adalah Kepala. Ayo kita bersatu! Teratur! Jangan beringsek begitu," kata Kepala Negara dengan tenang dan berwibawa namun ritmis.

Semua Kepala-Kepala terdiam, mendengarkan.

Sesaat itu juga, tampak Kepala Rindu, Kepala Waktu, Kepala Sepi, Kepala Kereta, Kepala Gedung dan sejumlah Kepala-Kepala lain bersuit-suit!

Suitan itu pun dibalas lagi dengan suitan lainnya oleh Kepala-Kepala lainnya.

"Setuju! Setuju!" secara koor Kepala-Kepala itu berteriak.

Namun Kepala tersisih dari kelompok guliran itu. Dengan susah payah dia menepi menuju trotoir.

Dia berkelok jalan menuju Duku Atas arah ke Hotel Shang Ri La.

"Aku tidak mengerti, apa maunya mereka!" ketus Kepala sambil bergulingan sendiri.

Jalan menurun. Kepala bergulingan dengan cepat.

Hanya riuh rendah suara Kepala-Kepala yang berbaris, bergerak, mengalir, diam, merangsek, tergencet dan bertahan, yang terdengar. Kepala bergulingan makin cepat, karena jalannya makin turun.

Kepala tidak bisa mengerem lajunya. Apalagi tidak punya tangan, sehingga tidak bisa menggunakan rem tangan. Lajunya makin cepat. Dan...Kepala itu tercebur ke kali, pas depan Hotel Shang Ri La.

Jakarta, 1998

Kado untuk Abang dan Adek

di usia 8 dan 7 tahun

Euis Herni Ismail
11/20/2011 10:07:23 am

kepala ?
seorang pimpinan, kepala bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain...
isi kepala yang baik akan menghasilkan pimpinan yang baik.jika pimpinan yang baik maka akan bisa mengayomi dengan baik.....Sebagai Kritik sosial its oke !
tetap konsen dng isi kepala untuk mengingatkan orang agar berbuat baik dan patut di jadikan tauladan




Reply



Leave a Reply.

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    October 2011

    Categories

    All


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,