oleh Kanjeng Senopati pada 18 Februari 2011 jam 7:25
***
Dan yang kudapati hanya acuh tatap matahari
Tak kurasa lagi hangat dekapnya
Cahaya berlalu begitu saja melewati tanpa setitik
Tanpa setitik huruf jatuh dari simpulnya
Ramah yang biasa kutangkap telah berubah menjadi marah
Lembut sutera balutannya menjelma menjadi serbuk pasir di pelupuk mata
Terasa pedih memerih yang kian menindih pada jiwa telah merintih
Bunga bunga layu kelopaknya berjatuhan
sedangkan musim semi masih memeluknya
Daun daun kering serak beterbangan
Padahal kemarau telah berlalu lama
Dan aku masih bertekuk kaku, walau gelap tak lagi menjamu.
Dan semakin kutatap matamu, padhang purnamamu semakin tak nampak
Hanya urai air mata yang tak mampu aku jelmakan menjadi mutiara
Butirannya menjadikan kerak pada wajahku sendiri
Seakan bumi acuh menerima air mata pengaduanku
Langit hanya tersenyum sinis memandangku yang terhimpit
Sebongkah batu dan tiang tiang telah menjerat dan mengikatku.
Angin berlalu begitu saja tanpa belai elusannya
Apalagi ramah sapa yang selalu menggoda.
Senyum kecut yang kudapati dari bibir manis semesta
Hangat pelukan seperti sindiran bagiku
Yang masih dingin menggigil dan beku tersesat di padhang kutub
Tak mampu lagi kujamah sepercik api
Sekedar mencairkan setetes dari kebekuanku
***
Dan yang kudapati hanya acuh tatap matahari
Tak kurasa lagi hangat dekapnya
Cahaya berlalu begitu saja melewati tanpa setitik
Tanpa setitik huruf jatuh dari simpulnya
Ramah yang biasa kutangkap telah berubah menjadi marah
Lembut sutera balutannya menjelma menjadi serbuk pasir di pelupuk mata
Terasa pedih memerih yang kian menindih pada jiwa telah merintih
Bunga bunga layu kelopaknya berjatuhan
sedangkan musim semi masih memeluknya
Daun daun kering serak beterbangan
Padahal kemarau telah berlalu lama
Dan aku masih bertekuk kaku, walau gelap tak lagi menjamu.
Dan semakin kutatap matamu, padhang purnamamu semakin tak nampak
Hanya urai air mata yang tak mampu aku jelmakan menjadi mutiara
Butirannya menjadikan kerak pada wajahku sendiri
Seakan bumi acuh menerima air mata pengaduanku
Langit hanya tersenyum sinis memandangku yang terhimpit
Sebongkah batu dan tiang tiang telah menjerat dan mengikatku.
Angin berlalu begitu saja tanpa belai elusannya
Apalagi ramah sapa yang selalu menggoda.
Senyum kecut yang kudapati dari bibir manis semesta
Hangat pelukan seperti sindiran bagiku
Yang masih dingin menggigil dan beku tersesat di padhang kutub
Tak mampu lagi kujamah sepercik api
Sekedar mencairkan setetes dari kebekuanku