sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
oleh: Idah Nuryati


Suara jam dinding berdetak keras, sudah menunjukkan jam sepuluh malam, aku membaca sebuah novel di tengah rumah sambil mendengarkan musik dari HP. Kulihat Ayah berdiri menghampiri Ibu :
“ Bu, maaf Ayah mengganggu sebentar, Ayah ingin menyampaikan sesuatu” kata Ayah sambil mendekati Ibu yang sedang memainkan jari jemarinya diatas keyboard komputer, matanya tetap menatap monitor.
“ Oo... baiklah, ayah bicara saja, aku dengar koq” Ibu menjawab tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari monitor.
Ayah menghela nafasnya “ Yaa... sudahlah kalau ibu masih sibuk, lain kali saja bicaranya. Ayahpun meninggalkan Ibu yang masih terus anteng menulis. 
Di luar gerimis masih membasahi bumi, udara terasa sangat dingin, aku memperhatikan Ayah menuju sofa di tengah rumah, setengah membantingkan badannya Ayah duduk merebahkan tubuhnya di atas sofa, kedua tangannya menyangga kepala, mata Ayah menerawang ke langit-langit rumah yang sudah mulai menguning. Aku hanya berani melihat dengan sudut mataku, novel masih di tanganku tapi aku sudah tidak bisa melanjutkan membaca lagi, konsentrasiku buyar mendengar percakapan Ayah dan Ibu barusan, sudah sering kali Ibu sulit diajak berbicara oleh Ayah, kegemaran Ibu menulis membuatnya anteng tidak mau terganggu siapapun, kadang kalau aku perlu pun Ibu cukupmemberi isyarat untuk tidak bertanya. Aku sering kecewa dengan sikap Ibu, tapi aku tidak bisa membantahnya, pernah suatu kali aku memaksanya menjawab, Ibu menjadi sangat marah membentak dan mengingatkanku untuk tidak mengulang lagi. Saat itu aku masih di TK.
Untung Ayahku tidak seperti Ibu, Ayah sangat merespon apa yang aku tanyakan, sehingga aku jarang bertanya kepada Ibu. Kalau ada PR yang sulit aku menunggu bantuan dari Ayah, aku berani bertanya, bercerita atau curhat hanya kepada Ayah, segan dan takut rasanya kalau aku bertanya kepada Ibu. 
Di sekolah teman-teman perempuanku sering bercerita tentang kedekatan mereka dengan ibunya, aku hanya diam, dalam hati merasa sangat iri,ingin rasanya aku bercerita kepada ibu kalau aku sudah mulai tertarik teman laki-laki sekelasku, tapi mungkinkah ibu mau mendengarkanku, apa reaksi Ibu nanti? Kalau anak gadis satu-satunya yang baru baligh sudah mulai jatuh cinta, akh... tidak lebih baik kusimpan saja.
Kudengar dengkuran Ayah dari sofa, rupanya Ayah tertidur dengan kemarahan yang ditahannya, aku merasakan kalau Ayah sering tersinggung dengan sikap Ibu, tapi aku kagum akan kesabaran Ayah, belum pernah aku mendengar ayah berkata keras apalagi membentak Ibu, kalau Ayah melihat Ibu sedang menulis, tidak mau menyuruh Ibu mengambilkan air atau membuatkan kopi untuknya, Ayah akan melakukannya sendiri atau menyuruh Bi Sumi pembantu kami.
Aku mendekati Ayah, pelan-pelan kuselimuti tubuh ayah: “selamat tidur Ayah, semoga Alloh melindungiMu” aku pun masuk ke kamarku, kulihat Ibu dari celah kamarnya yang sedikit terbuka, masih asyik dengan komputernya.
Hari masih gelap, saat kubuka mataku terdengar ada suara isak tangis, aku segera bangkit , kulihat ibu sedang menangis dengan selembar kertas di tangannya, Aku hanya bisa diam , mataku berkeliling mencari Ayah, tapi tidak ada di kamar, aku berlari ketengah rumah menuju sofa tempat Ayah tidur semalam, tidak ada juga. Hatiku mulai gelisah dimana Ayah, kudekati kamar mandi, tak ada suara apapun selain gemericik air yang mengalir dari keran, kubuka pintunya tak ada siapapun.
Aku kembali ke kamar Ibu,ibu masih menangis dengan wajah tertutup kedua tangannya, bahunya terlihat turun naik, isaknya semakin kencang. Kertas yang tadi dipegang Ibu nampak tergeletak di atas lantai, aku memberanikan diri mengambilnya, kubaca dengan hati degdegan : 
“Ibu, maafkan Ayah... Ayah pergi dulu ke luar kota beberapa hari untuk menenangkan fikiran, sudah sangat lama Ayah ingin berbicara dengan Ibu, tapi Ibu selalu asyik dengan kesukaan Ibu, tanpa mempedulikan apa yang Ayah inginkan, Ayah khawatir kemarahan ini tiba-tiba meledak tanpa kendali, maka Ayah memilih lebih baik menjauhi dulu Ibu untuk beberapa hari. Ayah hanya menitipkan Kayla putri tunggal kita, jangan biarkan dia menjawab ketidaktahuannya sendiri atau bertanya kepada orang yang salah, berikan waktu untuk Kayla Bu, keberhasilan Kayla adalah keberhasilan kita dalam mendidiknya, kegagalan Kayla adalah kegagalan kita selama mengasuhnya. Sekali lagi maafkan Ayah, salam buat Kayla...”
Aku tak mampu menahan lagi air mataku, kututup kamarku aku menangis sejadi-jadinya di kamarku. “Ayah... aku memahamimu, semoga Alloh melindungimu...aku menyayangimu Ayah...”lirihku.
Sebuah sentuhan halus menghentikan tangisku, aku berpaling, kulihat wajah Ibu yang sembab memerah, butiran bening mengalir di pipinya , aku dipeluknya : “Maafkan Ibu nak, Ibu egois... Ibu..” aku merapatkan pelukan Ibu, tak mampu menjawabnya, hanya isak tangis yang keluar darimulutku. Lamat-lamat terdengar adzan subuh berkumandang, Ibu melonggarkan pelukannya :”Kita solat subuh ini tanpa Ayah...maafkan Ibu” Ibu mencium keningku “Ayo wudlu dulu!, kita solat berjamaah berdua” kata Ibu dengan lembut sambilmenuntunku ke kamar mandi.
Dalam do’a panjangku kusampaikan do’a untuk Ayah dan Ibu agar tetap bersatu dalam kasih sayang Alloh...Jangan tinggalkan aku Ayah...!
IN011011

gopur
9/7/2012 12:41:53 am

kisahnya lumayan menyentuh..! sebenarnya kisah ini adalah sebuah gambaran , tapi sayang buatku...! karna aku sudah tidak memiliki ayah lagi,,,,!

Reply



Leave a Reply.

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    November 2011

    Categories

    All


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,