sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
oleh Cani Casmara
 
            Taksi yang Alysa tumpangi berhenti di depan sebuah rumah, untuk beberapa menit lamanya Alysa mengamati rumah itu, dia amati, ada perasaan tidak asing dengan rumah ini, barulah Alysa tersadar, setelah pak sopir menegurnya. “De, sudah sampai,” jelas pak sopir membuyarkan lamunannya, berbarengan dengan itu pula, Alysa jadi ingat rumah siapa yang ada di depan matanya ini, ya rumah tante Lyli, adik mamanya.
“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulut Alysa, seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Alysa, pak sopir menjelaskan, bahwa ini alamat yang diberikan mamanya tadi pada dia. Dengan pikiran yang masih bingung, kenapa dia harus diantar ke rumah tante Lyli, Alysa membuka pintu taksi langganan mamanya itu, kemudian keluar dari dalam taksi, sampai akhirnya taksi pergi, Alysa masih berdiri di depan pagar rumah tante Lily.
            Dari dalam rumah, seorang perempuan yang tak jauh beda usianya dengan mamanya, keluar, diikuti dua orang anak, laki – laki dan perempuan, yang Alysa kenal, mereka itu tante Lyli dan anak – anaknya, Reza dan Mitha, sepupu Alysa.
“Lysa, sini masuk nak, sebentar lagi juga mama menyusul kemari,” kata tante Lyli, sambil memegang tangan kanan Alysa, kemudian perlahan menariknya, di belakangnya Reza dan Mitha mengikutinya.
            Hari sudah hampir malam, tapi mama belum juga datang ke rumah tante Lyli, untuk menjemputnya, seharian Alysa main dengan Reza dan Mitha.
Baru, kira – kira pukul delapan malam, ketika matanya sudah mulai mengantuk, mamanya datang, alih – alih menjemputnya, ternyata mama juga ikut menginap di rumah tante Lyli, Alysa jadi bingung. “Kita sekarang tinggal di sini sayang,” kata mama ringan, Alysa bocah enam tahun hanya manggut – manggut saja, yang terbayang di benaknya sekarang, adalah akan bermain sepuasnya dengan dua orang sepupunya yang menurutnya kocak dan menyenangkan, tetapi tiba – tiba Alysa ingat sesuatu, papa tidur dimana?
            Sejak Alysa tinggal di rumah tante Lyli, begitu banyak yang berubah dari pola hidup dia dan mamanya, mama lebih giat bekerja, lebih sering pulang malam, lebih sering membangunkan Alysa dimalam hari, hanya sekedar untuk memberikan  makanan, buah tangan mama dari pulang kerja, kasih sayang makin berkurang dari mamanya, karena mamanya sibuk sekali dengan pekerjaannya di kantor, Alysa dipaksa untuk menjadi gadis kecil yang mandiri, dan papa? Alysa kembali teringat papa.
“Mama, papa kok nggak datang – datang jemput kita?” tanya Alysa pada suatu malam.
Mama terdiam sejenak dari kegiatannya, melipat baju kerjanya. Wajah mama yang cantik, memandang ke wajah Alysa, wajah itu ingin memberitahukan sesuatu, tetapi seakan ragu, akankah mengerti gadis kecilnya ini untuk menerima kenyataan yang sebenarnya, batin mama.
“Alysa sayangku, mulai sekarang dan seterusnya, mama dan papa sudah berpisah,” suara mama terdengar begitu pelan, hampir tidak terdengar di telinga Alysa. “Kenapa pisah?” rasa ingin tahu Alysa semakin jadi, dan setelah itu, mengapa pisah? Kapan papa jemput kita? Kita tidak bisa bermain lagi sama papa dong? Rentetan pertanyaan dari mulut mungil Alysa, membuat mama bingung menjawabnya, diceritakan yang sebenarnya hanya akan membuat putri semata wayangnya itu semakin bingung. Suatu hari nanti, kamu akan mengerti, galaunya hatiku, risaunya jiwaku, melanjutkan hari – hariku untuk menjadikanmu seorang yang berguna seorang diri, batin mama, diciumnya kening Alysa, ternyata Alysa sudah tertidur pulas, sebelum mama menceritakan semuanya. Syukurlah, batin mama.
            Sambil mengendap – endap, Alysa memegang ujung roknya yang sobek, hasil dari lompatin pagar rumah tante Lyli, karena takut ketahuan tempat persembunyiaannya sama Reza yang jadi kucingnya.
Masih anteng di persembunyiannya, tiba – tiba ujung mata Alysa menangkap sosok mamanya yang keluar dari pintu rumah bersama tante Lyli, mamanya terlihat begitu rapi dari pakaian dan dandanannya, dan ada satu kopor besar yang dipegangnya, hati Alysa jadi nggak enak, akan pergi kamanakah mama? Sambil berlari kecil, Alysa menghampiri mamanya. “Mama mau kamana?” tanya Alysa setelah berdekatan dengan mamanya. “Lysa, mama harus ke Jakarta sayang, Lysa sama tante Lyli tinggal di rumah, mama dipindahtugaskan oleh kantor, nanti juga papa akan datang jenguk Lysa, papa udah janji sama mama, bakal ngajak main Lysa lagi,” terang mama, tanpa memperdulikan perasaannya, matanya mulai berair, tante Lyli melihat semuanya, diraihnya tangan Alysa.
“Alysa, tante, oom, Reza dan Mitha, kami sayang sama Lysa, mama Lysa harus cari uang, sebentar lagi Lysa sekolah, Lysa maukan sekolah? Ketemu banyak teman, punya banyak teman,” dan masih banyak lagi rayuan tante Lyli, demi menenangkan hati Alysa. Mama hanya cium kening Alysa, ketika taksi yang dipesan sudah datang menjemput mamanya, ingin Alysa menangis sekeras – kerasnya, tapi yang keluar hanya segukan aja, Alysa sudah menjadi gadis kecil yang mandiri dan tidak cengeng, hanya lambaian tangannya mengantar mama pergi.
            Hari – hari Alysa semakin lambat tanpa mama di sampingnya, tante Lyli baik, tapi tetap ada yang hilang, kasih sayang mama. Papa yang mama janjikan mau datang menjenguknya, tidak kunjung datang, mama setiap hari telepon Alysa, hanya sekedar menanyakan keadaannya saja. Alysa mulai merasa kesepian, walaupun sedang berada dikeramaian.
Alysa selalu iri, ketika melihat Reza dan Mitha, bila sedang bergelayut manja sama tante Lyli, Alysa akhirnya suka ngeloyor pergi menjauhi mereka.
Alysa merasa, mama dan papa tidak sayang lagi padanya, pernah suatu malam kedapatan oleh tante Lily, Alysa sedang terisak menangis, dia rindu pada mama dan papanya, dipeluknya Alysa oleh tante Lyli, dirasakannya peluk hangat seorang mama, tapi tante Lily bukan mamanya, kembali Alysa terisak.
Siang hari adalah teman bagi Alysa, Alysa suka lupa akan tidak hadirnya mama dan papa, Alysa sibuk dengan dunia bermainnya, tapi begitu malam tiba, Alysa ingin cepat bertemu dengan siang, malam akan kembali mengingatkannya pada mama dan papa yang tidak lagi bisa selalu di sampingnya.
            Bunyi handphone membuyarkan lamunannya, hanya pesan masuk rupanya, Alysa menarik nafas pelan, ada rasa penasaran pesan dari siapa yang masuk, dari tadi Alysa mengheningkan handphonenya.
Kelopak matanya jadi menyipit ketika, bola matanya membaca sebuah pesan dari seorang perempuan yang dia panggil mama. “Mama sudah transfer uang,” isi pesan yang sangat singkat, tapi tidak membuatnya senang atau bahagia.
Ya... Alysa sekarang sudah tumbuh menjadi seorang gadis remaja, duduk di kelas satu SMU, di  salah satu sekolah menengah  negeri di Kota Bandung.
Sejak  mama pergi ke Jakarta, meniggalkannya di rumah tante Lyli, mama tidak pernah kembali ke Bandung, setahun, dua tahun, dan sampai terdengar kabar mama sudah  berkeluarga di sana, tidak pernah sedikit pun, mama melibatkan Alysa dalam semua peristiwa yang ada, perlahan – lahan,  rasa rindu yang ada pada seorang mama berubah menjadi benci pada seorang mama.
            Dennis, sahabatnya sudah menunggu di pintu gerbang sekolah, tetapi bukan mempercepat langkahnya, Alysa malah memperlambat langkahnya.
“ Yee ni orang jalannya kayak puteri solo gitu,” Dennis meneriaki dirinya. “Mau pulang bareng nggak?” Dennis mulai emosi, Alysa dari kejauhan mengangguk.
“Tapi aku lagi males pulang ke rumah, ikut ke rumahmu aja ya,” rayu Alysa setelah langkahnya mendekati Dennis.
“Eit, ada apa nih, tar aku dituduh tantemu lagi, tukang bawa kamu keluyuran, nggak mau ah,” tolak Dennis, sambil matanya memandang Alysa penuh curiga, pasti ada sesuatu, batin Dennis.           
“Jangan khawatir, aku yang akan bilang ke tante Lyli,” Alysa mengeluarkan handphonenya, jempolnya menari memijit keypad kesana kemari. Terdengar bunyi “tut” dari handphonenya, tanda pesan telah masuk. Terlihat wajahnya Dennis begitu lega, maklum setiap Alysa malas pulang ke rumah, Dennis yang selalu Alysa sodorin untuk  bilang semua alasan – alasan ke tante Lyli, tetapi lama – lama tante Lyli curiga, Dennis pasti disuruh Alysa buat selalu mencari alasan, ketika Alysa malas untuk pulang ke rumah, karena telah ada seseorang yang menunggunya.
            Kasih ibu sepanjang masa...hah omong kosong, cibir Alysa. Tidak pernah kurasakan itu, batinnya. Alysa tahu semua tentang figur seorang ibu, hanyalah melalui, media yang selalu mengagungkan kasih ibu, tante Lyli  yang patut diacungi jempol dalam mengurus anak – anaknya dari A sampai Z, tante Lyli yang tangani, dan ibunya Dennis, sama seperti tante Lyli, Dennis segalanya. Sedangkan dia, ditinggal oleh kasih ibu ketika dia benar – benar membutuhkan pegangan, bimbingan, untuk melangkah, kasih ibu itu hanyalah dari tante Lyli, tetapi tante Lyli hanya seorang tante, bukan ibunya.
Kasih ibu yang sebenarnya untuk dia ada dimana? Ada.. mama... Tapi mama tidak memberikan kasih ibu, bukan mama yang Alysa harapkan. Hati Alysa selalu berkecamuk dan penuh benci jika dia teringat akan kenyataan hidup yang dia hadapi.
            Dengan perlahan, dibukanya pintu pagar rumah, jalan mengendap – endap, dan perlahan, diraihnya handle pintu, dilihatnya Reza lagi asyik main game, oom Danu belum pulang kayaknya, tante Lyli? Mana dia?  Itu yang diharapkan, tidak bertemu tantenya, dengan mempercepat langkahnya, Alysa melesat langsung menuju kamarnya.
“Makan dulu, Alysa,” tiba – tiba tante Lyli sudah ada di belakangnya, ketika tangannya akan meraih handle pintu kamarnya.
Kehadiran tante Lyli membuatnya salah tingkah dan merasa bersalah, karena tadi sudah janji untuk pulang cepat, bukan sudah malam seperti ini.
“Alysa, sampai kapan kamu akan menghindari mamamu?” seperti tidak mau mendengar alasan Alysa, tante Lyli tidak bisa menunda pertanyaan itu.
“Mama kamu nunggu dari tadi siang, walaupun tahu waktunya tidak banyak, tapi mama nyempetin buat nemuin kamu, Lysa. Mama Lydia sayang sama kamu,” terang tante Lyli.
“Kalau sayang sama Lysa, kenapa tidak membawa serta Lysa ke Jakarta,” terdengar nada suaranya agak meninggi, pertanyaan itu juga yang sudah disimpannya sejak lama, tidak mengerti akan jalan pikiran mamanya, kenapa tidak membawanya serta ke Jakarta.
“Belum saatnya Lysa, masih banyak yang harus Lydia selesaikan,” tante Lyli berusaha mengendalikan keadaan, tante Lyli melihat kebencian di mata Alysa, pada mamanya.
“Okelah kalo memang belum saatnya, berarti Lysa juga belum saatnya untuk bisa beramah - ramah dengan mama, hilang rindu Lysa pada mama, hilang kangen Lysa pada mama, kadang Lysa bingung harus bagaimana ketika berhadapan dengan mama, Lysa tidak bisa tante, sungguh! Tolong sampaikan maaf Lysa buat mama ya tante,” Alysa menatap wajah tante Lyli, sambil memegang tangannya, terasa begitu hangat.
            Pikiran Alysa melayang, matanya tidak bisa dipejamkan, tante Lyli sudah tahu isi hatinya terhadap mamanya. Mama oh mama, Alysa sebenarnya takut dosa, jika terus membenci dirimu, tetapi apakah Alysa tidak berhak untuk marah, dan benci setelah semua yang mama lakukan terhadap Alysa.
Tiba – tiba memorinya membawa pada nasehat – nasehat yang pernah Alysa terima, dari tante Lyli dan mamanya Dennis. Baik buruknya orang tua kita, tetap mereka yang membuat kita ada, kita merasakan gembira, tertawa ataupun sedih,  kalau tidak ada orang tua kita, kita tidak akan merasakan itu semua.
Airmata Alysa tak terasa mengalir perlahan, membasahi kedua pipinya. Alysa merasa sudah berdosa menyiksa perasaan mamanya selama ini. Ya Allah ampuni hambamu yang telah khilap ini, batin Alysa menjerit.
Diambilnya handphone di dalam tasnya, jempolnya mulai menari, menekan setiap huruf yang ada dalam otaknya. Mama maafkan Alysa...tut..pesan telah terkirim. Tante maafkan Alysa..pesan kedua telah terkirim juga. Ada persaan lega direlung hatinya yang paling dalam sekarang.
Tuuut...ada dua pesan masuk. Mama sayang Lysa, my little angel..bunyi pesan dari mama sangat menyejukkan jiwanya yang selama ini hampa, pesan kedua dari tante Lyli.
Mata akhirnya bisa terpejam, hati akhirnya bisa damai dan tenang. Alysa menarik nafas panjang, dengan perlahan dibuangnya kembali, ditariknya selimut hingga menutupi setengah tubuhnya, udara terasa dingin tapi, hatinya terasa hangat.
            Hari ini, Minggu 12 Pebruari, Alysa memutuskan untuk menemui mamanya, dari tadi malam Alysa memberitahukan niatnya sama tante Lyli. Semuanya dipersiapkan sesempurna mungkin, Alysa ingin menginap di rumah mama selama dua atau tiga hari, Alysa ingin ajak mama jalan bareng selama Alysa menginap di Jakarta, dan masih banyak lagi rencana – rencana yang lainnya demi membahagiakan hati mama dan hatinya.
Tante Lyli menemaninya ke Jakarta, rencananya setelah sampai di Jakarta tante Lyli akan kembali lagi ke Bandung.
Pukul delapan pagi, Alysa dan tante Lyli sudah duduk manis, di bangku baris kedua, bis jurusan Bandung – Jakarta. Entah kenapa hati Alysa begitu tegang, padahal yang akan ditemuinya itu mamanya, bukan pacarnya.
“Kenapa kamu senyum - senyum sendiri?” tanya tante Lyli, ternyata tanpa disadarinya, bibirnya tersenyum.
“Ah, nggak apa – apa kok tante, bentar ya Lysa mau telepon mama dulu, mau ngasih tahu kalo kita sudah di dalam bis, on the way gitu,”  Alysa mengalihkan pembicaraan, takut ketahuan kalo dirinya belum punya pacar.
“Kok nggak diangkat ya handphonenya?” tanya Alysa, belum sempat tante Lyli menjawab, handphone tante Lyli berbunyi.
            Bis mulai melaju, membawa harapan Alysa untuk menemui mamanya, tante Lyli, terlihat banyak diam sekarang, wajahnya selalu melihat ke arah luar jendela bis, alasannya ingin melihat pemandangan sepanjang jalan. Aneh, perasaan, pemandangan sepanjang perjalanan Tol Cipularang tidak ada yang indah, pikir Alysa.
Handphone masih digenggamnya, masih menunggu, balasan pesannya dari mama, tapi tak kunjung ada pesan yang masuk, ditelepon gak diangkat juga, dicoba sms tapi gak ada balasan juga. Mama kemana sih, gerutunya dalam hati.
“Tante tadi mama yang teleponkan? Kok Alysa telepon tidak diangkat, sms tidak dibalas ?” gerutu Alysa
“Iya mamamu, mamamu cuma bilang, mama sudah menunggu kamu Alysa sayang,” jawab tante Lyli, ada pemandangan yang aneh di wajah tante Lyli, matanya sembab. tante Lyli menangis?
“Tante kenapa tante menangis?” selidik Alysa, digesernya posisi duduknya mendekati tantenya.
“Tante terharu, sedih dan gembira, kamu akhirnya bisa meruntuhkan kerasnya hatimu, untuk menerima mamamu kembali, tante mewakili mama Lydia, minta maaf atas semua kesalahan mamamu selama ini, mamamu sangat sayang sama kamu Alysa, tapi karena keadaan yang membuatnya meninggalkanmu,” jelas tante Lyli, diiringi isak tangisnya, digenggamnya tangan tante Lyli.
“Alysa sudah mengerti kok tante, sudah jangan sedih lagi,” Alysa mencoba untuk membuat tenang tantenya, karena penumpang di sebelahnya mulai lirik – lirik.
            Jantungnya berdegup kencang, hatinya sakit dan perih sekali, tubuh yang terbaring di tengah rumah, dan ditutupi kain kafan itu adalah mamanya.
Kakinya seakan tidak berpijak, tapi Alysa berusaha untuk berpijak, dia harus kuat, untuk bisa melihat dan memeluk mamanya yang terakhir.
Tetapi tubuhnya tetap saja limbung, tante Lyli membimbingnya untuk melihat jasad mamanya terakhir kalinya, dipeluknya jasad yang sudah membeku itu, kain kafan basah oleh airmatanya yang sudah tidak terbendung lagi., tak disangka pertemuan dengan mama  Lydia akan seperti ini.
            Mama Lydia terjatuh di kamar mandi, kepalanya terbentur ke lantai kamar mandi, dan hanya yang Maha Kuasa yang menentukan segalanya, firasat itu, sebenarnya sudah Alysa rasakan sebelum pergi ke  Jakarta, tetapi Alysa mencoba menepis semua pikiran buruk yang akan terjadi.
Alysa menangis sejadi – jadinya, tanpa menghiraukan orang – orang di sekitarnya, yang turut merasakan kesedihan yang sungguh menyayat hati.
Dari relung hati yang paling dalam, Alysa merasa bersyukur, masih sempat meminta maaf dan memaafkan mamanya, dan dari sebuah buku harian yang disimpan mama, Alysa mengerti apa suka duka, dan liku – liku hidup yang dijalani mamanya selama menjadi single parent, sungguh perjuangan hidup yang berat.
Makin erat Alysa memeluk jasad mama. Mama akhirnya Lysa bisa memeluk dirimu walau dalam diam, dan dingin, Lysa bisa merasakan kehangatanmu, mamaku sayang, selamat jalan mama sayang, Lysa sayang dan cinta sama mama, walau terpisah ruang dan waktu, Lysaku selalu sayang mama.
Terasa tubuhnya menjadi ringan, semua di sekililingnya menjadi putih, alam sadarnya telah pergi.
Kasih Ibu sepanjang masa, walau sampai mati....
 
Tanjungsari, 25 Oktober 2011....24.00

    Author

    Write something about yourself. No need to be fancy, just an overview.

    Archives

    November 2011

    Categories

    All


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,