sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
Seingatku...
oleh: Syach R. Suryatama


Baru saja darah bersimbah mengalir menggenang membasah tanah, keluar dari belukar tubuh yang gundah. Ternyata sudah 46 tahun yang lalu

Kukira baru saja mayat mayat bergelimang di jalan, tertelungkup di trotoar memanjang, merebah di sawah sawah, mengapung di sungai sungai, terbuang di hutan larangan. Ternyata sudah 46 tahun yang lalu

Kupikir baru saja nyawa perwira perwira meregang melenggang, catatan takdir para jendral di hapus dari kitab kehidupan, dan jilidannya terkubur dalam di rahim kegelapan
Ternyata sudah 46 tahun yang lalu

Seakan baru saja para tamtama telah naik pangkat jadi bintara, kopral kopral telah menjadi jendral, dan perwira beralih jadi panglima. Namun ternyata sudah 46 tahun yang lalu

Entah kapan para kaum idealis meneriakkan keadilan, kaum sosialis berteriak kemakmuran, kaum monotheis mengajarkan ketuhanan, kaum patriotis berguman kebangsaan, dan kaum komunis dalam pembantaian. Ternyata sudah 46 tahun yang lalu

Alur sejarah yang tak bertuan
Merobek nilai nilai yang masih mencari kebenaran
Sebuah politik kekuasaan yang di bungkus pancasila dalam kesaktian
Pancasila menjadi bahan jualan bagi dajal dajal yang mengaku utusan Tuhan
Agama menjadi ruang penghasilan atas nama kotbah dan ceramah murahan

Katanya sudah 46 tahun pancasila sakti
Sedang dada garuda sudah tiada
Garuda hanya sayap patah yang tersisa
Terburai bulu bulu tercerabut oleh waktu
Dan garuda lemah tak berdaya di sembunyikan para penguasa
Garuda yang di dada adalah garuda tanpa dada

Dan lagi pancasila masih menguji kesaktian
 
Syach R. Suryatama

‎...
Usah risau
Masih ada ruang bagiku merebah duka
Masih ada tempat untuk menadah air mata
Dan aku akan belajar dari tiap tetesannya

Bila ada kepedihan
Labuhkan pada dermagaku
Andai ada kesedihan
Sandarkan di dadaku
Akan kubaca tiap isak tangismu
Kumaknai tiap desah nafasmu

Biarlah
Biarlah
Usah risaukan itu
Biarlah cambuk cambuk itu merajamku
Bakarlah aku dalam tungku apimu
Tenggelamkan aku pada terdalam lautmu
Atau kubur aku agar bumi menelanku

Andai itu menjadi kunci pembuka kerajaan bahagiamu

 
Syach R. Suryatama

‎***
Biar.....!
Biarkanlah aku menangis....!
Lalu apa pedulimu.....!
Karena di setiap tetes air mataku ada ribuan kata yang tak terucap
Di setiap butirannya ada rasa yang tiada sanggupu terungkap
Biarlah gerimis tangis menjadi wali pengaduanku

Kau takkan pernah tahu kepedihan ini, karena tak merasakannya
Kau takkan pernah tahu kepahitan ini karena kau tak mengalaminya
Kau takkan pernah tahu kegetiran ini, karena kau tak menjalaninya
Bagai seorang raja, tak pernah tahu rasanya menjadi jelata

Biar....!
Biarkanlah air mata ini mengalir....!
Usah hiraukan....!
Abaikanlah....!
Bukankah badai ini hanya mencambukku....
Lalu apa pedulimu bila wajahmu tak pernah menjamu

 
Syach R. Suryatama

‎***
Jelaga malam memasungku di sudut jalan
Merebahkanku dalam kubang kesunyian
Tanpa senyum bintang bermesraan
Tiada senandung cinta bertabuhan

Serasa aku menjadi tawanan kegelapan
Kecupan demi kecupan seakan tak berkesudahan
Lipatan demi lipatan semakin jauh dari tepian
Seakan tak peduli hati dalam kerinduan

Ahhh...
Di mana kekasihku tak menampakkan diri
Masihkah sembunyi atau sedang menari nari
Di atas peraduan malam dengan tembang para dayang
Memeluk kerinduan tuntaskan segala janji

 
Syach R. Suryatama

‎...
Usah risau
Masih ada ruang bagiku merebah duka
Masih ada tempat untuk menadah air mata
Dan aku akan belajar dari tiap tetesannya

Bila ada kepedihan
Labuhkan pada dermagaku
Andai ada kesedihan
Sandarkan di dadaku
Akan kubaca tiap isak tangismu
Kumaknai tiap desah nafasmu

Biarlah
Biarlah
Usah risaukan itu
Biarlah cambuk cambuk itu merajamku
Bakarlah aku dalam tungku apimu
Tenggelamkan aku pada terdalam lautmu
Atau kubur aku agar bumi menelanku

Andai itu menjadi kunci pembuka kerajaan bahagiamu

 
Syach R. Suryatama

‎***
Haruskah kubagi luka dengan luka
Haruskah kuadukan duka pada duka
Pada bahu malam kusandarkan segala lara
Merebahkan semua nestapa

 
‎...
Merindukanmu, meski dalam letihku
Mencintaimu, walau dalam perihku
Selalu
Selalu
Saat kuterlupa, semoga kau mengingatnya
Membasuh perih kala senja

 
‎***
Sepenggalah matahari baru saja kukuliti
Namun bayangmu tetap saja menghampiri
Raut wajahmu enggan berlari menepi
Walau dengan sepi kata kucumbui

Seakan tak peduli hati merindui
Atau sengaja kau buatku gelisah menari
Membiarkan jiwaku terus mencari
Mencari sesungging senyummu sembunyi

Kemana lagi jejak kakimu kususuri
Langkahmu makin jauh kuikuti
Dimana lagi kudengar engkau bernyanyi
Semua hanya bisa kuratapi

Lalu kapan kita bertemu dan memadu hati
Mungkin suatu saat nanti, atau tidak sama sekali

 
***
Biar.....!
Biarkanlah aku menangis....!
Lalu apa pedulimu.....!
Karena di setiap tetes air mataku ada ribuan kata yang tak terucap
Di setiap butirannya ada rasa yang tiada sanggupu terungkap
Biarlah gerimis tangis menjadi wali pengaduanku

Kau takkan pernah tahu kepedihan ini, karena tak merasakannya
Kau takkan pernah tahu kepahitan ini karena kau tak mengalaminya
Kau takkan pernah tahu kegetiran ini, karena kau tak menjalaninya
Bagai seorang raja, tak pernah tahu rasanya menjadi jelata

Biar....!
Biarkanlah air mata ini mengalir....!
Usah hiraukan....!
Abaikanlah....!
Bukankah badai ini hanya mencambukku....
Lalu apa pedulimu bila wajahmu tak pernah menjamu
 
‎***
Telah lama tongkatku menyusuri jejakmu
Meraba raba jalan yang pernah kau tempuh 
Kudatangi arah desau suara angin
Kutuju dari mana gemuruh suara ombak
Kudekati nyanyian kicau burung
Bahkan kutunggu gelegar teriakan halilintar
Kukira itu lagu kidung cintamu

Ahh....
Lagi dan lagi
Dibuat aku tersesat oleh rayu waktu
Terdampar dalam ruang berdebu
Dan tak sampai aku padamu


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,