sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
cerpen  karya: Sutan Iwan Soekri Munaf

            Angin malam yang semilir, tidak lagi menyejukkan hati. Mata malam menjelajahi waktu, hanya menipu diri sendiri. Tidak ada lagi kata-kata yang dapat mengajuk hati. Aku hanya menatap kelelahan yang terdedah dalam perjalanan ini.

            Dan pada gundukkan tanah itu, tadi siang engkau terbaring untuk tidur selamanya. Sementara aku terbaring di ranjang putih. Banyak orang mengantarkanmu dalam tidur panjang, sedangkan aku di ruang kotak, sendiri. Hanya tetes demi tetes darah dalam tranfusi yang menemani. Sesekali perawat datang, Memeriksa. Mencatat. Kemudian pergi,

            Sungguh.

            Mengantarkan ke peristirahatanmu saja, aku tak dapat. Padahal kita sudah berjanji untuk saling berbagi dalam segala hal. Termasuk duka dan bahagia. Kini hanya terbaring di ranjang, menatap langit-langit, atau menatap cecak yang melintas di dinding. Hanya itu yang kubisa. Dan doa meluncur berkali-kali dari mulutku.

Sungguh!

            Aku tak menginginkan hal ini terjadi. Tapi sudah terjadi!

            Aku masih ingat,saat pertama kali mataku bertemu matamu. Padahal kita sudah sering jumpa dalam berbagai acara. Tapi pertemuan dua pasang mata itu menggetarkan hatiku. Aku rasa, getaran hatimu pun tak kurang, jika tak lebih, daripada getaran hatiku. Saat itu, baru saja selesai rapat kegiatan ekstra universitaria. Engkau duduk di kursi panjang sambil menyeruput minuman kotak. Aku akan ke luar ruangan PSIK (Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan) ini. Ya, aku melewati kursi panjang itu. Saat itu, mataku bertemu tatap dengan matamu.

Dan gelombang getar matamu itu seakan menghalangi langkahku keluar ruangan. Aku ingin segera ke gedung pentagon, karena ada kuliah matematika. Namun langkah ini tak dapat bergerak ke arah luar ruangan. Malah aku ikut duduk di sampingmu.

“Capek sekali,” ke luar begitu saja kalimat dari mulutku sambil aku menurunkan ransel.

“Tak juga. Haus saja. Semua orang banyak cerita dengan teori-teori. Tapi apa bisa kita melawan rezim ini?” jawabmu dengan mata yang teduh, mendamaikan hatiku.

 “Jadi kau tak setuju dengan gerakan kita?” tanyaku ingin tahu.

“Aku setuju dengan gerakan ini. Namun langkah kongkrit harus dilakukan. Bukan sebatas wacana. Tindakan rezim ini dengan kroni-kroninya sudah menyengsarakan bangsa kita.”

“Lantas konkritnya bagaimana?” tanyaku.

Kau tampak terdiam.

“Gerakan yang dilakukan Dewan Mahasiswa kita akan menelorkan korban banyak. Kita akan berhadapan dengan tentara,” kataku.

“Ya. Revolusi akan meminta darah,” jawabmu berapi-api.

             “Aku lebih setuju dengan upaya seminimal mungkin jatuhnya korban,” kataku sekenanya.

            “Ya. Ya. Namun seminimal itu akan berada dalam wacana saja. Kapan akan pergerakan itu?”

            Kami terdiam.

Pikiran kami mengembara untuk mencari solusi. Paling tidak, berusaha mencari solusi.

Aku menatap ke lapangan sepakbola. Rumput yang dipangkas, sehingga tingginya sama itu, seperti rakyat yang mendengarkan diskusi kami. Sementara di pinggir lapangan bola itu, ada beberapa pohon perdu, daunnya berwarna hijau lebih pekat dibanding rumput, layaknya pembatas antara kami dengan rakyat.

“Kau harus tanamkan dalam dirimu. Betapa negeri ini makin kacau. Semua urusan bisnis, dikuasai oleh mereka. Bahkan, Negara kita lebih dahulu melakukan assembling mobil Jepang itu. Namun, Malaysia yang lebih dahulu memiliki mobil nasional dengan merk Proton itu,” katanya dalam kegeraman.

Aku mendengarkan saja.

“Negara kita? Mengapa belum ada mobil bermerk nasional? Pasalnya, mereka sudah puas dengan hasil komisi yang diberikan pengusaha Jepang. Ya. Mental korup ini yang menghancurkan bangsa kita,” katamu dengan pasti.

Ya. Di dekatmu, semangatku terbakar. Kau jelaskan sebab dan akibat sebuah permasalahan. Dan kau tawarkan solusi, yang terkadang membuatku geleng-geleng kepala. Risikonya besar sekali. Dan ujung dari kalimatmu, perjuangan memerlukan pengorbanan.

“Besok ada rapat beberapa Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi di Bogor. Kau ikut, ya?” katamu.

“Aku harus menyiapkan Tugas Akhirku.”

“Perjuangan ini penting. Tugas Akhirmu dapat kau tunda satu semester. Tokh kau tak akan di-drop-outkarena terlambat satu semester. Lagi pula, indeks prestasimu amat meyakinkan.”

Matamu berbinar-binar, seimbang dengan intonasi suaramu yang bersemangat. Dari dalam matamu itu, aku menangkap gairah hidupmu kepada rakyat kita. Ingin rakyat kita tak semakin terpuruk.

“Ah…” desahku tak bisa mengelak.

“Reformasi akan terjadi. Dan rezim yang berkuasa ini tak akan lama lagi, mereka akan jatuh. Aku percaya, jika mahasiswa se-Indonesia bersatu, niscaya rakyat akan tergerak untuk melawan rezim ini.”

“Baiklah. Kita berangkat jam berapa?” tanyaku.

“Jam lima pagi. Kujemput kau di tempat kostmu.”

*

Baru saja aku selesai shalat Subuh, Bi Suti mengetok kamarku.

“Non Rini, ada tamunya. Katanya… namanya Mas Agus.”

“Ya, Bi. Suruh duduk dulu di ruang tamu. Suguhkan teh manis. Aku sebentar lagi keluar.”Aku buka mukena. Kemudian aku berkemas. Tak sampai 10 menit, aku sudah keluar dengan ransel di punggungku.

Kau tampak membaca koran pagi.

“Ehm!” dehemku.

Kau menyadari kedatanganku.

“Waw. Sudah siap?”

“Ya.”

Kau melipat koran itu dan meletakannya di atas meja.

Kami pun berangkat.,

Kau mengendarai sedan tahun 1981 itu dengan perlahan. Bandung dalam dingin pagi hari, mentari baru akan menampakkan wajahnya di belahan langit timur, dan luncuran mobilmu, tak akan pernah kulupakan.

“Aku tidak menyangka, perempuan secantikmu mau juga ikut gerakan,” katamu.

“Ehm... Kita mau piknik atau mau rapat pergeraklan, ya?!” tanyaku bercanda dan diujung ucapanku diikuti derai tawa.

“Hahaha... Tak boleh aku keluarkan pendapatku tentang dirimu?”

“Kau adalah orang ke 1003 yang mengatakan aku cantik!”

“Hehehe... Banyak juga ya, yang berpendapat sepertiku.”

“Ya. Opini pasaran,” kataku membuat seakan-akan ketus.

“Ada juga opini pasaran.”

“Dan biasanya, opini pasaran itu diikuti tahapan selanjutnya.”

“Tahapan selanjutnya?” tanyamu.

“Ya. Tahapan itu, mereka akan berkata menyukaiku.”

“Hehehe... Kok sama, ya? Aku juga mau bilang begitu...” suaramu datar diiringi tawamu.

Tadinya aku bercanda. Namun pernyataanmu tadi, bikin aku berdegup. Jantungku denyutnya mengencang. Cepat sekali. Aku terdiam.

“Heran. Kau peneliti yang baik pada laki-laki, ya? Bahkan kamu tahu, bahwa aku akan mengatakan, aku menyukaimu. Tepatnya, aku jatuh cinta padamu.”

Ucapanmu itu benar-benar datar. Tak sebagaimana kalimatmu kalau menjelaskan pergerakan mahasiswa, penuh ritmis dan berapi-api. Nada suaramu dingin, sedingin udara pagi hari di jalan raya pinggiran bukit kapur di Padalarang ini.

Ada sesuatu yang keluar seseketika dari dalam hatiku. Seperti aliran darah yang kencang, memusat di wajahku. Aku melirik ke kaca spion, membuang mukaku agar tak dilihat olehmu.

Dari kaca spion, kulit rona merah di pipiku.

Ah. Aku tak biasa begini. Banyak laki-laki yang melakukan seperti caramu, tak pernah bikin hatiku begini. Tak pernah bikin perasaanku begini.

“Tak perlu kau risaukan. Aku cuma menyatakan perasaanku. Jika kau tak setuju, tak apa. Jika kau setuju pun, ya syukur sekali.”

Aku semakin terpojok.

Dan, tanganmu yang tadi memegang handle gigi, tiba-tiba menyentuhku jemariku.

Aku kaget. Sungguh!

Anehnya, aku tak dapat melawan. Jemarimu meremas jemariku. Terasa hangat. Namun dari kehangatan remasanmu itu, meluncur pula derasnya keringat dingin pada sekujur tubuhku.

Sungguh. Aku seperti terbang. Tapi aku menggigil!

*

Rapat di Bogor itu di rumah seorang aktivis, tak jauh dari Institut Pertanian Bogor.

Sejak jam 10 pagi sampai jam 8 malam, rapat ini melelahkan. Pesertanya ada yang datang dari Jakarta. Dari Bandung, selain kami, ada empat orang lagi. Ada juga dari Jogya, Surabaya dan Semarang. Dari luar Jawa, datang dari Makassar dan Padang. Mereka hampir 20 orang.

Belum ada satu kata di antara peserta rapat. Pendapat kami terbelah. Ada yang menghendaki perubahan ini bertahap, sehingga tidak menimbulkan korban. Pendapat lain menghendaki perobahan drastis, ya, sama dengan pendapatmu.

Aku mencuri tatap padamu. Dalam kondisi otakmu bekerja keras, tak nampak keletihanmu. Aku sendiri sudah menggolerkan badan di sofa.

Dead lock?” tanyaku ketika kau menghampiriku sambil menating dua cangkir kopi panas.

“Kita tidak boleh dead lock.Rapat kali ini harus mengambil satu sikap yang pasti. Saat inilah waktu yang paling tepat.”

Aku mengambil satu cangkir kopi yang kau bawa.

“Bulan depan ada KTT di Kairo. Mungkin itulah KTT terakhir baginya. Pasti dia datang. Dan saat itulah, seluruh daerah bergerak.”

Aku membetulkan dudukku.

“Hanya suara kita terpecah, walau setuju akan waktu bergerak. Ada yang menginginkan konsentrasi demonstrasi di sekitar Hotel Indonesia hingga ke Jembatan Semanggi. Namun ada juga yang berpendapat, antara simpang Slipi hingga Jembatan Semanggi. Ada juga yang mengatakan, mulai dari simpang Tomang.”

“Pendapatmu sendiri?” tanyaku.

“Konsentrasi massa ke gedung DPR/MPR.”

Aku mengangguk-angguk.

*

Pukul 2 dinihari, kita masuk ke sedanmu.

Tubuhmu pasti loyo. Matamu agak celong. Sesekali kuapmu keluar.

“Kau masih sanggup mengendarai?” tanyaku.

“Ya. Kita harus balik ke Bandung. Besok pagi, harus kita sebarkan hasil rapat ini, agar reformasi yang kita rencanakan ini, akan berhasil.”

Dan mobilmu meluncur ke arah Ciawi.

Aku mencoba mengajakmu bercakap dengan tanya ini-itu. Tujuannya agar kau tak terjebak kantuk. Wajahmu loyo juga, tak sebagaimana kerennya dirimu saat meninggalkan Bandung.

Lepas Cisarua, mobil sedanmu lancar mendaki ke arah Puncak. Dan kabut pun turun. Kecepatan mobil sedang saja, sekitar 50 km per jam. Namun sebelum sampai simpang Telaga Warna, di antara pohon-pohon teh, dari arah depan melaju bus dengan kecepatan penuh.

Aku kaget.

Dan seketika bus itu menabrak mobilmu.

Ya. Setelah itu aku tak ingat lagi. Saat aku sadar, telah ada di rumahsakit ini. Dan ayahku menceritakan, bahwa ada orang menelpon ke rumah. Pagi itu juga ayah bersama ibu meluncur ke rumahsakit di Bogor. Kemudian memindahkanku ke rumahsakit di Jakarta.

Dan ayah juga yang mengatakan, kau telah dikebumikan tadi siang.

Ya. Sejak sadarku sore tadi, banyak cerita ayah. Ayah dan ibu lega atas sadarku.

Setelah ayah dan ibu pulang, aku merasakan sepi itu. Ranjang putih ini. Dan pesawat televisi itu yang sedang menyiarkan berita demonstrasi mulai terjadi di beberapa kota.

Ah. Aku masih merasakan semangat dalam suaramu. Hangatmu dalam remasan pada jemariku. Dan keterusteranganmu menuturkan perasaanmu. Katamu: Aku cinta kamu!

Semilir angin malam, sampaikanlah: Aku juga mencintaimu!

Bekasi – April 2011


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,