sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
oleh Iwan Soekri 
pada 16 September 2011 jam 2:13
=============

Sepeda tua itu kini tersimpan di gudang, tersuruk di bagian paling belakang. Penuh debu. Bannya sudah kempis. Batang tubuhnya, di sana-sini, sudah berkarat.

=============

Sialan! Sudah lebih 30 tahun aku menjerit! Aku dikerangkeng di gudang lembab ini. Tidak lagi pernah diajak jalan atau ditunggangi. Aku rindu sekali ditunggangi. Kaki sang penunggang mengayuh pedalku, dan kemudian kami berjalan menyusuri jalan.

=============

Memang umurku sudah tua. Tapi aku merk Rayleigh. Dulu aku didatangkan dari Inggris. Sesampai di Belawan, kemudian dibeli Sutan Sati yang menjadi regent di wilayah ini.

Setiap hari anak kemenakan Sutan Sati membersihkan badanku. Diberi minyak. Diukur tekanan udara banku. Lampuku selalu diperhatikan. Juga remku. Dan bila saatnya pagi hari, anak kemenakan Sutan Sati mengeluarkanku dari ruang tamu. Distandardkan di halaman. Kemudian Sutan Sati turun dari Rumah Gadang dengan baju kebesarannya. Dan dia mengayuh pedalku. Sepanjang jalan, banyak sekali orang menegur Sutan Sati. Sutan Sati selalu membalas teguran itu dengan anggukkan.

Sebetulnya tak berapa jauh Rumah Gadang ke kantor Sutan Sati, sekitar satu setengah kilometer. Tapi hari-hari bersama Sutan Sati, menjadi hari-hari istimewa bagiku. Saat itu, akulah satu-satunya sepeda di sini.

Anaknya pun tak boleh menunggangiku.

=============

Selepas Sutan Sati wafat. Sutan Rajo Langit, anak Sutan Sati yang mendapat warisan untuk menunggangiku. Sutan Rajo Langit ini seorang guru. Tentu saja aku amat dihormati murid-murid Sutan Rajo Langit. Walau Pak Camat sudah pakai motor DKW, namun Sutan Rajo Dilangit tetap menunggangiku seanggun ayahnya. Perawatannya pun tak beda jauh, apalagi di sekolah seringkali murid-murid yang mendapat hukuman akan membasuh badanku.

=============

Ketika Sutan Permato Hati duduk di bangku sekolah menengah, yang cukup jauh dari kota kecamatan ini, maka Sutan Rajo Langit menyerahkanku pada anak sulungnya itu, agar mudah pergi sekolah. Sedangkan Sutan Rajo Langit pergi kerja sudah pakai motor Honda.

Sutan Permato Hati pun merawatku sebagaimana ayah dan kakeknya. Tubuhku masih mengkilat dan bersinar. Saat berjalan, tak ada suaraku.

=============

Selepas Sutan Permato Hati merantau, katanya melanjutkan kuliah ke Bandung; maka aku dibebas-tugaskan. Pasalnya, adik-adik Sutan Permato Hati hanya mau naik motor Honda. Dia tak mau menunggangiku. Aku sedih. Aku ditempatkan di gudang.

Awalnya di bagian depan, kemudian tersuruk, kemudian lagi lebih tersuruk ke dalam. Akhirnya betul-betul tersuruk di sini.

Ya, temanku kini, laba-laba dengan jaring-jaringnya. Beberapa benda-benda tua. Dan tentu juga, aroma lembab di sudut gudang.

=============

Tapi aku masih ingin jalan melihat keramaian pasar atau menyusur tepi pantai, sambil menggonceng kekasing penunggangku. Ah!

Pariaman -1976

revisi - Jakarta 2002

 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg01243.html

sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,