seorang ibu, warga negeri bencana, tetaplah seorang ibu isaknya tersimpan, sedu sedannya tertahan hati-hati, sambil mendulang harap, ia berbisik: 'latih saja kakimu agar kuat berlari kita mesti bersiap evakuasi penuhkan maafmu dalam dada penguasa sedang rapat, terperangkap dalam angka dan wacana memprediksi jumlah korban dan menghitung jumlah bantuan bencana' hati-hati, sembari menggantang cahaya, aku menyimak: jejak air mata berbaris dan menunggu melewati batas wasior, merapi dan pulau-pulau pagaiku rindu berkaca lelah dan menjauh menghitam sebelum senja berlabuh seorang ibu, warga negeri bencana, dapatkah kau dengar teriaknya tanpa suara: 'begitulah, berkejaran dengan waktu, pelangkahan hanya menjejak di angin, berpijak pada buih. tak akan pernah mampu menggayut di udara, tak akan pernah bisa menapak lautan. dan kata-kata, kadang menjadi jinak dalam luka, tapi lebih sering menjelma raungan buas memangsa jiwa' seorang ibu, warga negeri bencana, tetaplah seorang ibu di matanya dapat kau baca: 'kita sudah mengalah sejak lama sedari gandhi dibunuh ahimsa luka-luka di bawah matahari menggenang sunyi' seorang ibu, warga negeri bencana, tetaplah seorang ibu isaknya tersimpan, sedu sedannya tertahan ia tau dan percaya, langit bukan tanpa harapan 30 November 2010
kata-kata membanjir di ladangku. langit melipat satu musim gugur lagi. guruh hinggap sore hari dan bakal purnama terbata pucat menaiki timur pelangi. angin dingin bersegera menampar malammu, bintang bintang menyusun debar kaoru. kata-kata memperjalankanku, menyeret lengan waktu, tergesa menyeberangi nyeri sebelum dinihari mematri sunyi, sebelum janji menjelma badai, sebelum rindu menderai jadi gerimis. kau dan aku membatu. 091111 Muhammad Ibrahim Ilyas
di sulamadaha aku meraut bianglala rautmu merupa ke batuangus angin mengantar senja silhuet camar laut pupus rindumu berbisa 281011 Muhammad Ibrahim Ilyas
aku memang sedang berbenah bila puisi terakhir sudah dituliskan, tak akan ada tempat buat kata-kata anakku anakmu sedang sibuk mempersiapkan bahasa baru ... By: Muhammad Ibrahim Ilyas
cakrawala melihatcatat gugus pulau dan samudra, kenangan menetapderap puluhan barisan berkuda, langit menembangdendang rinai dan hilir angin, sejarah mendetakhentak arus darah para peneruka. anakku anakmu anak negeri negeri api api menari menari. ibu-ibu selalu tak sabar menunggu pagi, melati memekar hulu hati. rindu menggigil sayupkuyup, mimpi menggantung sayapharap. sunyi menggembunggelembung, dinihari mengapungmurung. 101011 Muhammad Ibrahim Ilyas
karena mimpi telah terikat sumpah, anakku anakmu berjaga di semua arah agar rindu tak menjelma sampah. mereka membenih harap, menanam doa dan memetik bunga gelisah. mereka memenuhi jalanan, mencari persembunyian isyarat dan tanda. kemacetan menari di nadi anak negeri, menggelombangkan api ke semua stasiun dan terminal nyeri. 071011 Muhammad Ibrahim Ilyas
lengang menjelang petang, rembang menggenang kenang. si padang bertimbang sayang, mendulang harap pagi petang. siang sepanjang tepi banda bakali, sampan melaju menjauh hulu, mengail gariang sampai dipanggil gigil. sepesisir pantai puruih, sejak olo ladang ke koto marapak, menumpang ombak berkecipak riak. duhai, anakku anakmu mengumpul buah katapiang, turun naik berlari kecil di dinding pemecah gelombang. sejumlah memori mesti dipercik api, selagi masih berharap pagi. yang lainnya biarkan mencair mengair, menguap turun menggerimis, biar langit melapang hati, biar rindu bernafas panjang. setumpak luas tanah telah ditelan samudra, setapak masa lalu tepaku membenak. terkenang bapak, kuburnya digusur abrasi. teringat cucu dan anak, tidurnya sesak isu gempa dan tsunami. ketika senja turun, secangkir kopi menahun tegun. ladam kuda bendi mendingin diam, kelam membenih malam. Muhammad Ibrahim Ilyas, 191011
dinihari, di negeri api menari, sunyi mewariskan nyeri. anakku anakmu bernyanyi, terbata dan hati-hati. merahputih merahputih, telah kami tandatangani timbang terima sejarah perih. merahputih merahputih, telah kami rekam tumpah darah mengirim bisik lirih. sungai dan pantai, kami tak akan menderai karena badai. danau dan pulau, mimpi dan rindu melangit menghalau segala igau dan pukau. di negeri api menari, sunyi menghitung pusaka nyeri. kaki dinihari akan menjejak pagi. merahputih merahputih ... Muhammad Ibrahim Ilyas031011
dan tanahku, negeri api menari, nyala bergerak hentak tak henti. sigulambai gemulai seramai balai, pekan ke pekan membibit harap menyemai sangsai. matahari tak bermusim, matahati terperangkap tahun takwim. beribu pulau mengapung samudra kalau, beribu risau timbul tenggelam timbul lautan igau. amanah lelah menyerah, digenggam tangan gegabah, didustai pikiran serakah. tubuh penuh keluh, nurani nyeri berduri. di hulu mimpi telah membenih amarah, yang akan menggelombang ke hilir sejarah.
290911
nyeri mondarmandir di tubuhmu, tsunami jejaklangkah kami. negeri api menari, telah terpasang di jarimu cincin itu: ngilu bermusim. hipokrisi mencengkram sejarah, membatu dalam kepala dan wajah sang pemegang amanah. Lapar di ambang batas sabar, dusta mengakar tumbuh cakar. malam akan mengganti usiamu. kami, anak negeri masih menanti, bersemayam di dinihari, menggetar debar fajar, menanak harap jadi pagi.
270911
|