MEMOTRET WAJAH JAKARTA
( Lewat Teropong : “ Secangkir Kopi Jakarta yang Telengas “ ,karya : Feriyanto Arief )
Jakarta masih jua bertahan ,jadi tumpuan ladang
pengharapan ,bagi sebagian besar para kaum marjinal negeri ini ,yang terlanjur prustasi menyemai mimpi di ladang-ladang sempit tanah kelahirannya .
Ironisnya ,Jakarta tidak hanya sekedar menawarkan seribu mimpi, namun Jakarta juga telah terlanjur tercipta jadi muara fakta bagi semakin merebaknya berbagai jenis proses “ Dehumanisasi “, “Demoralisasi” dan “Degradasi “ Moral Bangsa , yang statistiknya bergerak semakin meningkat baik ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya .
Tetapi mengapa banyak orang yang seakan tak pernah mau peduli ? Menafikan serta memandang enteng terhadap fakta-fakta miris yang telah terbeberkan .Atau memang benar alas an lugu mereka yang mengatakan bahwa “ Rasa Lapar di atas segala-galanya “ .
Memotret wajah Kota Jakarta ,lewat teropong “ Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ karya Feriyanto Arif , merupakan sebuah upaya pencerahan yang bernuansa sangat “Kontemplatif” .Seakan telah merasa Lelah yang mengarah Jengah , Arif mencoba menyembunyikan rentang urat lehernya dalam menyampaikan Visinya , namun ia lebih memilih “ mendesah “ mencoba pengetuk perlahan pintu hati pembaca ,lewat kalimat-kalimat padat makna ,yang dibungkus dengan metaphora sederhana yang akrab di telinga orang kebanyakan .
Pada bait ke-1 ( dari 5 bait puisi yang ditulisnya ) ,
Gambaran Skeptis penulis ,tentang moral penduduk Jakarta ,yang sudah sangat jauh dari ‘Aspek Kejujuran “, terekam manis lewat baris-baris kalimatnya yang bernada Ironi . // senyum ramah ,begitu saja mudah ditawarkan//Sapa sopan mengoyak lamunan//Silakan kopinya Tuan//Badan membungkuk tangan mencakung //Setumpuk Koran kabar kosong sigap ditawarkan //. Betapa di kehidupan Jakarta , bahasa sudah menjadi suatu barang mainan , ketulusan telah terkubur ,sopan santun hanyalah sebuah rekayasa dalam upaya menguasai petak-petak wilayah kehidupan yang dengan buas diperebutkan . Hampir Tak ada lagi yang bisa di percayai disana karena kita hanya ditawari setumpuk koran dengan berita yang kosong .
Seakan ingin mempertegas pandangannya tentang Jakarta , pada bait ke-2 , penulis mengawali baitnya dengan kalimat // Ini dunia lain // , sambil mengupas secara dalam , masalah- masalah yang sangat Substantif tentang hakekat kehidupan . // Mencangkul nasib sawah tak bertanah // Pinggiran hutan belantara tak berdaun // , di bait ke dua ini , penulis mencoba memaparkan sebuah paradok , tentang dua sisi kehidupan yang sangat kontradiktif , antara kehidupan “yang memegang teguh budaya luhur “ di kampong-kampung , dengan “ Nuansa kehidupan Kota Jakarta “ yang benar-benar telah kehilangan semangat kemanusiaannya .
Kehidupan di Jakarta , tak ubahnya sebagai sebuah dongeng , yang menjerat para pendatang ,untuk membiarkan dirinya luruh dalam jebakan mimpi yang Utopis .Penulis bahkan sudah demikian sangat skeptis , untuk tidak lagi mempercayai seluruh hirarki kemasyarakatan yang ada , yang seluruhnya dianggap telah turut terkontaminasi , // Raja , Mentri , Hamba sahaya ,semuanya berwajah sama // ,Seakan hendak mempertanyakan tentang tujuan dari para pendatang , penulis membuat sebuah kalimat retoris ,yang di jawab nya sendiri di bait ke 4.// lalu apa ? // Tak Ada // Harapan sudah lama pergi lewat kapal terakhir// bahkan mimpi-mimpi hanyalah minuman yang tersaji di secangkir kopi //
“Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ ,karya Feriyanto
Arief , telah memuat demikian banyak amanat , untuk mengajak berpikir bagi siapapun yang berniat mendatangi Jakarta .
Namun seperti halnya kasus-kasus kehidupan yang lain ,
banyak kendala yang menyebabkan sebuah amanat jadi tak sampai .Demikian lebarnya jarak pemikiran antara penulis dan masyarakat awam kita , menjadi salah satu masalah besar yang harus segera di carikan solusinya . Agar puisi ini mampu mencapai tujuannya .
// Nikmati saja //artificial sajian tegur sapa // hangat
kopi // sejuk pagi //.sangat disayangkan ,bait terakhir dari puisi ini pun , seakan menggambarkan bahwa penulispun tengah did era lelah .
Cimahi , 12 September 2011
(Tulisan Sederhana , untuk sekedar bertanggung jawab ,terhadap 3 buah puntung rokok,yang di hisap Agar tidak menjadi sia –sia !.)
Karya : FERIYANTO ARIEF
oleh Ahmad Yani
pada 12 September 2011 jam 14:24
( Lewat Teropong : “ Secangkir Kopi Jakarta yang Telengas “ ,karya : Feriyanto Arief )
Jakarta masih jua bertahan ,jadi tumpuan ladang
pengharapan ,bagi sebagian besar para kaum marjinal negeri ini ,yang terlanjur prustasi menyemai mimpi di ladang-ladang sempit tanah kelahirannya .
Ironisnya ,Jakarta tidak hanya sekedar menawarkan seribu mimpi, namun Jakarta juga telah terlanjur tercipta jadi muara fakta bagi semakin merebaknya berbagai jenis proses “ Dehumanisasi “, “Demoralisasi” dan “Degradasi “ Moral Bangsa , yang statistiknya bergerak semakin meningkat baik ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya .
Tetapi mengapa banyak orang yang seakan tak pernah mau peduli ? Menafikan serta memandang enteng terhadap fakta-fakta miris yang telah terbeberkan .Atau memang benar alas an lugu mereka yang mengatakan bahwa “ Rasa Lapar di atas segala-galanya “ .
Memotret wajah Kota Jakarta ,lewat teropong “ Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ karya Feriyanto Arif , merupakan sebuah upaya pencerahan yang bernuansa sangat “Kontemplatif” .Seakan telah merasa Lelah yang mengarah Jengah , Arif mencoba menyembunyikan rentang urat lehernya dalam menyampaikan Visinya , namun ia lebih memilih “ mendesah “ mencoba pengetuk perlahan pintu hati pembaca ,lewat kalimat-kalimat padat makna ,yang dibungkus dengan metaphora sederhana yang akrab di telinga orang kebanyakan .
Pada bait ke-1 ( dari 5 bait puisi yang ditulisnya ) ,
Gambaran Skeptis penulis ,tentang moral penduduk Jakarta ,yang sudah sangat jauh dari ‘Aspek Kejujuran “, terekam manis lewat baris-baris kalimatnya yang bernada Ironi . // senyum ramah ,begitu saja mudah ditawarkan//Sapa sopan mengoyak lamunan//Silakan kopinya Tuan//Badan membungkuk tangan mencakung //Setumpuk Koran kabar kosong sigap ditawarkan //. Betapa di kehidupan Jakarta , bahasa sudah menjadi suatu barang mainan , ketulusan telah terkubur ,sopan santun hanyalah sebuah rekayasa dalam upaya menguasai petak-petak wilayah kehidupan yang dengan buas diperebutkan . Hampir Tak ada lagi yang bisa di percayai disana karena kita hanya ditawari setumpuk koran dengan berita yang kosong .
Seakan ingin mempertegas pandangannya tentang Jakarta , pada bait ke-2 , penulis mengawali baitnya dengan kalimat // Ini dunia lain // , sambil mengupas secara dalam , masalah- masalah yang sangat Substantif tentang hakekat kehidupan . // Mencangkul nasib sawah tak bertanah // Pinggiran hutan belantara tak berdaun // , di bait ke dua ini , penulis mencoba memaparkan sebuah paradok , tentang dua sisi kehidupan yang sangat kontradiktif , antara kehidupan “yang memegang teguh budaya luhur “ di kampong-kampung , dengan “ Nuansa kehidupan Kota Jakarta “ yang benar-benar telah kehilangan semangat kemanusiaannya .
Kehidupan di Jakarta , tak ubahnya sebagai sebuah dongeng , yang menjerat para pendatang ,untuk membiarkan dirinya luruh dalam jebakan mimpi yang Utopis .Penulis bahkan sudah demikian sangat skeptis , untuk tidak lagi mempercayai seluruh hirarki kemasyarakatan yang ada , yang seluruhnya dianggap telah turut terkontaminasi , // Raja , Mentri , Hamba sahaya ,semuanya berwajah sama // ,Seakan hendak mempertanyakan tentang tujuan dari para pendatang , penulis membuat sebuah kalimat retoris ,yang di jawab nya sendiri di bait ke 4.// lalu apa ? // Tak Ada // Harapan sudah lama pergi lewat kapal terakhir// bahkan mimpi-mimpi hanyalah minuman yang tersaji di secangkir kopi //
“Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ ,karya Feriyanto
Arief , telah memuat demikian banyak amanat , untuk mengajak berpikir bagi siapapun yang berniat mendatangi Jakarta .
Namun seperti halnya kasus-kasus kehidupan yang lain ,
banyak kendala yang menyebabkan sebuah amanat jadi tak sampai .Demikian lebarnya jarak pemikiran antara penulis dan masyarakat awam kita , menjadi salah satu masalah besar yang harus segera di carikan solusinya . Agar puisi ini mampu mencapai tujuannya .
// Nikmati saja //artificial sajian tegur sapa // hangat
kopi // sejuk pagi //.sangat disayangkan ,bait terakhir dari puisi ini pun , seakan menggambarkan bahwa penulispun tengah did era lelah .
Cimahi , 12 September 2011
(Tulisan Sederhana , untuk sekedar bertanggung jawab ,terhadap 3 buah puntung rokok,yang di hisap Agar tidak menjadi sia –sia !.)
Karya : FERIYANTO ARIEF
oleh Ahmad Yani
pada 12 September 2011 jam 14:24