sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
PERPADUAN HARMONIS ,ANTARA NASIB TRAGIS BAMBANG EKALAYA DENGAN JERITAN PILU  CHAIRIL ANWAR DALAM, SAJAK” AKU” ,SEBAGAI AWAL  KEBANGKITAN BAGI GENERASI MUDA KAUM MARJINAL
( Alternatif Bersahaja dalam menyikapi  Arah Dunia Pendidikan yang Tak berpihak )

Sekapur Pasir !
Dipagi hari,dengan secangkir kopi,yang disuguhkan istri dengan sepenuh hati. Rongga-rongga Pikiran disesaki  setumpuk masalah tentang negeri ini . Lamunan kemudian menerawang tak tertahan ,menjangkau-tempat yang jauh .Aku sendiri tak kuasa menolak ketika sosok ekalaya dan Chairil anwar kemudian hadir secara utuh , untuk menjadi tema  dari perbincangan imajiner hari ini .Kemudian sambil tak menyia-nyiakan secangkir kopi yang telah terhidang ,mari kita mulai ,perbincangan compang-camping ini :

Pendidikan dari kacamata kaum pinggiran !

Memandang arah laju Dunia Pendidikan saat ini , tak ubahnya seperti sebuah baju tanpa pola . “Mau dibawa kemana Dunia Pendidikan kita ?”, pertanyaan klise yang kerap di teriakkan ( walau dengan cara sembunyi-sembunyi ) dan  tetap juga tak pernah  ada jawabannya yang memuaskan .Ada kecenderungan  Pendidikan kini telah  menjadi  Barang Mahal yang sulit terjangkau daya beli masyarakat , yang dijalankan dengan mengacu pada prinsif-prinsif ekonomis yang mencekik leher . Implikasinya Pendidikan terkotak-kotak ,dengan garis perbedaan yang tegas ,menjadi  berbagai kasta ,dimana lembaran-lembaran rupiah menjadi sang pembaginya . Sistem ini jelas sangat memojokkan kaum marjinal , yang harus rela menyerah untuk dapat menikmati pelayanan pendidikan yang bermutu tinggi .Tak dapat dipungkiri menerapkan keadilan dan kemerataan yang ideal  bagi pelayanan pendidikan diseluruh Indonesia ,sangatlah utopis. Tapi bukankah kita ( baca : Rakyat ) dapat pula dengan jelas bisa mengetahui kalau upaya kearah pemerataan itu benar-benar secara serius telah di jalankan ? Rakyat bisa memaafkan dan tak akan meragukan bahwa sebuah keadilan telah dipayakan , apabila Sistem , kebijakan , PERDA dan sejenisnya , benar-benar telah berfihak padanya . Justru hal seperti itulah yang sekarang ,rakyat belum dapat melihatnya .

Memamah seribu cerita pilu,tentang Dinia Pendidikan  yang sempat terekam di berbagai media massa ,sungguh telah membuat hati menjadi miris ,dan darah mendidih .Bangunan sekolah disudut-sudut kota dan bahkan di tengah kota yang rubuh , anak-anak yang harus menempuh arus sungai karena jembatan yang putus , para pelajar dan mahasiswa yang terpaksa doup-out , cerita siswa yang gantung diri karena malu tak bayar SPP , fenomena ujian Nasional yang hingga kini tetap dianggap Kontroversial ,  Sistem kurikulum yang selalu berubah seperti tanpa arah ,Pola rekruitmen di Dunia Pendidikan yang salah kaprah , Pola peningkatan mutu guru yang tak “berpola “ ,adalah beberapa masalah yang menyeruak yang terjadi di dunia pendidikan , dari seabreg masalah lainnya yang perlu pengangan serius untuk menuntaskannya .

Sepertinya Pendidikan di negeri ini , belum lagi dianggap sebagai suatu “Investasi”  yang sangat berharga , untuk  Pembangunan masa depan Bangsa, itu sebabnya ketika fenomena kenakalan remaja , dan tawuran yang berlangsung marak di berbagai jenjang pendidikan , Pemerintah lantas menjadi Terkesima dan gugup , lalu bergegas secara tergesa-gesa ,membuat berbagai “ Ramuan Obat dadakan “ untuk menanganinya . Dibangkitkannya Pendidikan Karakter , dianggap sebagai sebuah solusi . Pada akar permasalahannya semua itu terjadi karena , Dunia Pendidikan di kelola secara amatiran . Fenomena itu hanyalah Imbas , sebab Karakter Positif , sejatinya tak perlu di “ Ilmiah”kan ,namun dia melekat berbarengan dengan Tatanan Peradaban dalam keseharian yang berjalan dengan semestinya .

Bagi kaum berpunya , yang beruntung hidup di negeri ini , tentu semua ini bukanlah suatu masalah .Bukankah  uang dapat membereskan semuanya . Tapi bagi kelompok marjinal , yang tengah berupaya merangkak dengan berdarah-darah ,untuk mencoba keluar dari habitat kemiskinannya , tentu saja ini sesuatu yang sangat berat untuk dipikul .Betapa kontradiktif  membaca peta nasib yang tergelar jelas di wajah negeri ini .Di satu sisi sebagain orang dengan tenang melenggang  sekolah keluar negeri , atau menyerahkan gepokan uang buat mengganti bentuk pelayanan kelas tinggi dari sekolah Eklusif yang mereka masuki .Lembaga-lembaga Bimbingan Belajar berdiri di setiap kota , untuk memenhi syahwat ilmiah bagi setiap warga yang mampu menebusnya secara ekonomis . Lantas mesti harus bagaimana kaum pinggiran dapat bersaing dalam menduduki puncak-puncak pekerjaan yang strategis yang pintu gerbangnya adalah Bangku-bangku perguruan tinggi yang ternama , yang sebagain dana nya ,justru disubsidi oleh anggaran Negara ( baca : Pajak Rakyat ). Atau mungkinkah …Nasib mereka hanya cukup berakhir dengan selembar ijasah  yang tak laku di bersaing di dunia kerja  ,dari sekolah-sekolah yang tak jelas gedungnya , tak banyak siswanya , tak cukup gurunya,tak ada laboratoriumnya ,tak ada  kegiatan ekstrakurikulernya, dan tak ada-yang lain-lainnya .

Generasi Muda Kaum Marjinal , butuh semangat dan Membangun Motivasi yang dahsyat !
Bagi kaum marjinal , fenomena di atas , tentu jangan di jadikan alibi atau  sebuah pembenaran , bagi kita untuk lantas terdiam dan berpangku tangan . Terlalu berharga hidup yang telah di anugrahkan Tuhan , untuk kita jalani dengan sia-sia. Sangatlah tepat apa bila kita tempatkan semua itu semata-mata sebagai sebuah tantangan yang akan membuat nilai perjuangan lebih punya arti ,dan kita dapat mengecap buah nya dengan rasa yang jauh lebih manis .

Berkaca  pada sikap heroik  Bambang Ekalaya dan semangat Dahsyat Khairil Anwar !
Mencoba berkacamata pada nasib tragis Bambang Ekalaya ,apa yang tengah kita rasakan , tak jauh berbeda dengannya , Walau Ekalaya hidup di dunia yang berbeda ,namun ada benang merah yang sama  karena Ekalaya pun seperti kita , sosok kaum pinggiran yang berjuang mati-matian untuk dapat menempati tempat tertinggi  dalam kancah ke ilmuan( Keahlian Memanah ),dengan latar belakang hidup yang pas-pasan .(karena berasal dari sebuah Negeri kecil ,yang berada dalam cengkraman cakar kekuasaan Kerajajan Hastina Pura yang kaya raya )

Ekalaya ,layak diangkat untuk menjadi symbol perjuangan kaum marjinal ,dalam perjuangan maha kerasnya dalam mencari Ilmu. Kekerasan dan “Kenekadannya” untuk menjadikan Pandita Dorna sebagai gurunya ,patut kita acungi jempol .Pilihan yang diambil Ekalaya sangat tepat , dia tidak mau coba-coba dan setengah-setengah untuk mencari Guru yang tepat untuk memenuhi “ambisinya” , Dorna di pilih , karena Dorna lah Guru Yang paling lihay dan sangat mengusai ilmu memanah pada massa itu . Walau kemudian dengan sangat menyakitkan ,keinginannya untuk berguru ditolak mentah-mentah . Ekalaya lantas tidak  menjadi berputus asa , bahkan dia,segera  bangkit menggelorakan seluruh semangatnya ,tepat seperti yang diteriakan oleh Khairil Anwar dalam sajak “Akunya “ , // Aku ini binatang jalang // dari kumpulannya terbuang// walau  peluru menembus dadaku // aku akan tetap meradang..menerjang //. ( Penolakan Pandita Dorna terhadap Ekalayapun , sebenarnya merupakan suatu bahan analasisi yang sangat menarik, karena sikap itu menunjukkan , betapa dalam system pendidikan ( Padepokan) yang dikelola Pandita  Dorna pada saat itu , telah muncul sikap-sikap Diskriminatif yang berorientasi Pada profit dengan  mengedepankan factor-faktor ekonomis yang sempit . Pandita Dorna , sudah sangat nyaman dengan berbagai pasilitas menyenangkan yang telah di gelontorkan keluarga Kerajaan Hastina Pura kepadanya selaku  “kepala Sekolah “ , dan pandangan mata batinnya yang tajam ,yang dapat menangkap dengan jelas Fotensi Besar yang dimiliki seorang “Ekalaya “, dia yakini akan menjadi Kerikil Tajam yang membahayakan posisinya , karena Ekalaya dapat menjadi pesaing “ Arjuna “ putra panengah Pandawa yang sangat di sayanginya ).

//Luka dan bisa kubawa berlari // berlari// hingga hilang pedih perih // dan aku akan semakin tidak peduli// aku ingin hidup seribu tahun lagi // .  Kalimat-kalimat dahsyat yang di lotarkan Khairil Anwar , yang lahir ditengah ketrerpurukan hidupnya yang mencekam , seperti gayung yang bersambut , dengan suasana hati Ekalaya , yang harus rela melangkah pergi ,meninggalkan padepokan Pandita Dorna ,yang selama ini di impikannya . Penolakan dengan argumentasi yang tak pernah dimengertinya , memang sungguh menyakitkan hatinya, tapi hidup tak mesti berhenti di ujung tangis . Bait-bait puisi Khairil Anwar adalah gambaran yang pas , untuk merefleksikan seluruh Gelora hatinya ,yang berupaya mengubah seluruh kekecewaan menjadi gelora semangat yang tak ada sebuah Gunungpun mampu membendung luapan kenekadan hatinya .

Ke dalam sebuah hutan yang tak bernama , kemudian Ekalaya ,memulai merajut citanya . Kebeningannya hatinya , tak jua mampu mengurangi rasa hormatnya pada Pandita Dorna yang telah menolaknya menjadi gurunya . Untuk semua itulah …disana , disebuah hutan yang sepi , dia membuat Sebuah Patung Dorna dengan setulus hati . Hari-hari berkutnya , kemudian di isi , dengan dialog-dialog imajiner penuh kasih kepada Guru khayalannya , kemudian dengan bantuan angin , dan segala benda yang rela mengeluarkan air mata untuk nasib nya , Ekalaya menempa diri dalam balutan kesederhanaan yang hakiki . Di pelajarinya secara otodidak, ketrampilan memanah yang telah menjadi obsesinya , dia belajar pada liukan indah sayap kupu-kupu , pada tingkah laku kera  yang tak pernah lupa menyapanya disetiap pagi , pada belalai gajah  yang selalu mencoba memahami perasaannya , dan pada daun-daun yang luruh ,jatuh mengakhiri pengabdiannya pada tangkai ,untuk selanjutnya  bersetebuh dengan tanah , menjadi humus yang indah .
Tuhan Kemudian mendengar setiap doanya , malaikat pun berkenan member rekomendasi . Hanya dalam hitungan tahun , Ekalaya menjelma , jadi sosok Satria tanpa tanding , yang kehebatannya dalam memanah mampu menggetarkan setiap hati para Pangeran Penghuni Kemegahan Istana yang instan .

Mencoba mengurai hikmah dari kisah ini , tak ada satu alasan pun , bagi kita ( Generasi muda Kaum Marjinal ) untuk berhenti berharap ,Karena  Ilmu tidak hanya terbatas di Lingkungan formal , yang penuh dengan basa-basi ,dan serangkaian urusan katebelece formal yang menyebalkan. Harapan harus diyakini tak kan pernah hilang selama kita tidak pernah melepaskan Tuhan , dari setiap hembusan napas kita.

Sangat disayangkan , cerita tentang Ekalaya mesti berakhir tragis . Ekalaya mesti harus kehilangan Ibu jarinya , modal paling berharga bagi seorang pemanah , hanya karena tipu daya Pandita Dorna yang tak kuat menahan rengekan arjuna (murid kesayangannya)  yang tak rela hegemoni kemasyurannya harus tersaingi oleh kehebatan seorang pemuda yang berasal  dari negeri antah berantah .

Kisah Ekalaya , adalah potret perlawanan terhadap sebuah kemapanan ,yang mmeberi angin segar dan pencerahan bagi kita generasi muda kaum Marjinal . Kisah perjuangannya telah terhidang ,lalu Jeritan Tegar Khairil Anwar telah menyempurnakannya . Mari kita berkaca pada keagungan kisahnya ! .

Cimahi , jumat , 30 September 2011.
 
Darah air mata ; melaut ,
Menenggelamkan pedih ;
Membuat kota berubah jingga ,
Terukir tegas direlung terdalam , kehampaan nurani .

Hari ini , tak ada yang kulihat selain darah !
Darah menetes deras ,berlari dari sudut-sudut bendera bangsaku yang terkoyak !
Darah menghitam, berapagut larut ,dengan keringat ,yang pecah dari seluruh pori anak negeri !

Siapa kini ,yang bisa membaca, tentang makna ,dari setiap tetes darah !
Yang tercecer sia-sia , tenggelam , jadi sebuah sejarah bisu .
Tidak aku , tidak kamu , tidak kita !
Kita hanya bisa menyenyuminya di balik topeng ,sambil asyik membuang dahak !

Darah yang menetes deras dari sudut-sudut bendera bangsaku yang terkoyak ,
Adalah urat nadi kemanusiaan , yang terputus ,ditebas pedang kemunafikan !

(Sehelai bendera yang terkoyak , dihampir sekujur tubuhnya ,
Datang malam itu , mengetuk perlahan pintu hati, Yang selalu lupa untuk ku kunci .
“Namaku Merah Putih !, aku datang dari negeri yang tenggelam dalam seribu masalah “ keluhnya !
Itu kata pertama dan terakhir yang ku dengar darinya , Lalu ia rubuh , badannya kaku tergeletak di samping lap pel rumahku )


Ahmad Yani
Cimahi , 29 September 2011.
 
Menikmati malam di Bandung ; tanpamu !
Seribu lampu termangu !
Menatap kuyu , urat jalan , yang meringis !
... Tenggelam dalam himpitan ribuan deru .

Gedung Saparua , terlihat pucat ,
Tak ada lagi suara riuh di sana !
(Seperti sepuluh tahun yang lalu !
Saat kita berdua larut ,dalam buaian irama music Jazz,
dan pesona gesekan maut Biola Hijau Luluk Purwanto .)
Kemudian seperti pasti ,kita merasa ,akan menjadi abadi !.

Braga pun ,tak lagi mampu bicara !
Keindahannya hilang di rampas , oleh selaksa iklan, yang menyesak ,memenuhi trotoar jalan ,
Tanpamu ; aku disini menjadi kian merasa asing !
Tergerus oleh beragam suara ,yang berteriak seperti bunyi senapan !

Di alun–alun , ingin ku jamah kembali lekuk wajahmu !
Sambil mencoba berkaca pada bangku-bangku taman yang tlah mengusam .
Lalu kubiarkan saja hati melangkah sendiri , menemui hasratnya !
Memunguti sisa-sisa manis senyummu , yang masih bisa dikenalinya .
 
Engkau yang membiarkan,

Butiran rindu itu gugur ,


Terserak di hamparan resah ,


tanpa sempat tahu, 
tentang alasan mengapa ia mesti terkulai !
 
Di puncak puncak Gunung !
Gerimis luruh , di lembut pangkuan bunga Edelweis,
Di sana biasa kita menanti ; matahari dinyalakan di setiap fajar tiba ( Seperti Katamu )
Lalu kita jadi lupa arah pulang , karena peta hidup kian mengusam ,
Menjelaga dari gigil yang tak lagi mampu mengenali getarnya.

Diantara angin , yang berebut berlari menuruni bukit 
Aku dengar suaramu hadir ,
Jauh di sana! , di ujung batas pengharapan hati ,
Sore ini , hujan pun turun ,bersama kabut ,
Mungkinkah suarama mu , akan jua sampai di sini ?

Menyusuri Lereng-lereng bukit
Pamplet kenangan ,terhidang di kelopak mata ,
Aku ternganga !; dan kau pun ,tak mampu berkata-kata ,
Lalu rindu kita pun bergumul , memberi, jejak pada rumput
Melukis mimpi dengan bahasanya sendiri 

Luka yang mengajakku ke sini , berlayar memainkan kata !
Lalu dia pula yang mengurungku di sini !, membujuk mata , mengecupi rona senja !
Diantara lebatnya hutan-hutan cemara , kucoba arungi samudra makna ,
Sambil terbahak menertawakan setiap luka !

RY , engkaukah itu , yang membiarkan tik-tak suara jam berhenti berdetak !
Memaksa angin melenggang , mengetuk-ngetuk pintu ingatan !
Aihhh !! , mengapa pula , seribu burung turut menjerit ,
Membuat ku terjaga dari mimpi yang sempurna !
R.Y , Bila luka yang telah melahap seluruh asaku ,telah sempurna habisnya !
Temuilah puasmu , di garis awal langkah perjalananku , dan berjanjilah untuk tak lagi Mengusik sunyiku .

Pada setiap wajah ,yang sudah tak ku ingat lagi ,lekuk-lekuk garisnya ,
Pada setiap nama ,yang tak mampu lagi ku eja garis katanya ,
Pada setiap hati ,yang tak kupahami lagi getar sangsinya .
Pada setiap jiwa ,yang pernah memberi tempat bagi asa ku untuk menyala !
Kini , disini , sebuah puisi tentangmu terkubur ,
Di timbuni ribuan kata , yang entah kapan , akan terungkap maknanya .
Kemarau yang basah ,membawa sisa –sisa gerimis , mengecupi gumpalan rindu ,
Yang melepuh di bakar waktu . 

Cimahi , 14 September 2011.Su
 
                    MEMOTRET WAJAH JAKARTA

( Lewat Teropong : “ Secangkir Kopi Jakarta yang Telengas “ ,karya : Feriyanto Arief )

Jakarta  masih jua bertahan ,jadi tumpuan ladang 
pengharapan ,bagi sebagian besar para kaum marjinal negeri ini ,yang terlanjur prustasi menyemai mimpi di ladang-ladang sempit tanah kelahirannya .

Ironisnya ,Jakarta tidak hanya  sekedar menawarkan seribu mimpi, namun Jakarta juga telah terlanjur  tercipta jadi muara fakta bagi semakin merebaknya  berbagai jenis proses “ Dehumanisasi “, “Demoralisasi” dan “Degradasi “ Moral Bangsa  , yang  statistiknya bergerak semakin meningkat baik ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya .

Tetapi mengapa banyak orang yang seakan tak pernah mau peduli ? Menafikan serta memandang enteng terhadap fakta-fakta miris yang telah terbeberkan .Atau memang  benar alas an  lugu mereka yang mengatakan bahwa “ Rasa Lapar di atas segala-galanya “ .

Memotret wajah Kota Jakarta ,lewat teropong “ Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ karya Feriyanto Arif , merupakan sebuah upaya pencerahan yang bernuansa sangat “Kontemplatif” .Seakan telah merasa Lelah yang mengarah Jengah , Arif mencoba menyembunyikan rentang urat lehernya dalam menyampaikan Visinya , namun ia lebih memilih “ mendesah “ mencoba pengetuk perlahan pintu hati pembaca ,lewat kalimat-kalimat padat makna ,yang dibungkus dengan metaphora sederhana yang akrab di telinga orang kebanyakan .

Pada  bait ke-1 ( dari 5 bait puisi yang ditulisnya ) , 
Gambaran Skeptis penulis ,tentang moral penduduk Jakarta ,yang sudah sangat jauh dari ‘Aspek Kejujuran “, terekam manis lewat  baris-baris kalimatnya  yang bernada Ironi . // senyum ramah ,begitu saja mudah ditawarkan//Sapa sopan mengoyak lamunan//Silakan kopinya  Tuan//Badan membungkuk tangan mencakung //Setumpuk Koran kabar kosong sigap ditawarkan //. Betapa di kehidupan Jakarta , bahasa sudah menjadi suatu barang mainan , ketulusan telah terkubur ,sopan santun hanyalah sebuah rekayasa dalam upaya menguasai petak-petak wilayah kehidupan yang dengan buas diperebutkan . Hampir  Tak ada lagi yang bisa di percayai disana karena  kita hanya ditawari setumpuk koran dengan berita yang kosong .

Seakan ingin mempertegas  pandangannya tentang Jakarta , pada bait ke-2 , penulis mengawali  baitnya dengan kalimat // Ini dunia lain // , sambil mengupas secara dalam , masalah- masalah yang sangat Substantif tentang hakekat kehidupan . // Mencangkul nasib sawah  tak bertanah // Pinggiran hutan belantara tak berdaun // , di bait ke dua ini , penulis mencoba memaparkan sebuah paradok , tentang dua sisi kehidupan yang sangat kontradiktif , antara kehidupan “yang memegang teguh budaya luhur “ di kampong-kampung , dengan “ Nuansa kehidupan Kota Jakarta “ yang benar-benar telah kehilangan semangat kemanusiaannya .

Kehidupan di Jakarta , tak ubahnya sebagai sebuah dongeng , yang menjerat para pendatang ,untuk membiarkan dirinya luruh dalam jebakan mimpi yang Utopis .Penulis bahkan sudah demikian sangat skeptis , untuk tidak lagi mempercayai  seluruh hirarki kemasyarakatan  yang ada , yang seluruhnya dianggap telah turut terkontaminasi , // Raja , Mentri , Hamba sahaya ,semuanya berwajah sama // ,Seakan hendak mempertanyakan tentang  tujuan dari para pendatang , penulis membuat sebuah kalimat retoris ,yang di jawab nya sendiri di bait ke 4.// lalu apa ? // Tak Ada // Harapan sudah lama pergi lewat kapal terakhir// bahkan mimpi-mimpi hanyalah minuman yang tersaji di secangkir kopi //

“Secangkir Kopi Jakarta yang telengas “ ,karya Feriyanto 
Arief , telah memuat demikian banyak amanat , untuk mengajak berpikir bagi siapapun yang berniat mendatangi Jakarta . 
Namun seperti halnya kasus-kasus kehidupan yang lain , 
banyak kendala yang menyebabkan sebuah amanat jadi tak sampai .Demikian lebarnya jarak pemikiran antara penulis dan masyarakat awam kita , menjadi salah satu masalah besar yang harus segera di carikan solusinya . Agar puisi ini mampu mencapai tujuannya .

// Nikmati saja //artificial sajian tegur sapa // hangat 
kopi // sejuk pagi //.sangat disayangkan ,bait terakhir dari puisi ini pun , seakan menggambarkan bahwa penulispun tengah did era lelah .


Cimahi , 12 September 2011

(Tulisan Sederhana , untuk sekedar bertanggung jawab ,terhadap 3 buah puntung rokok,yang di hisap Agar tidak menjadi sia –sia !.)


Karya : FERIYANTO ARIEF
oleh Ahmad Yani 


pada 12 September 2011 jam 14:24


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,