Angin bergerak ke daun-daun
mengarak musim bertahun-tahun
Di sini
air menangkap pantul kilat malam hari
sambut sepi yang jatuh ke dalam danau
Ke mari
rasakan kata-kata yang meluncur sendiri
menyibak riak hidup. Semua. Galau!
Embun turun basahi udara
Waktu. Titian tak pernah henti
bagi orang dalam perahu. Dalam topi lebarnya
menunggu. Siapa tahu dapat ikan besar?
Nasib. Semua orang boleh saja gusar
kalau permainan kayuh semakin tidak menentu lagi
Diam.
biarkan air dan angin berkaca di depan bulan
dan kita nikmati dari tepi Saguling
Bandung 1988
SUTAN IWAN SOEKRI MUNAF
Hasrat tak terkatakan untuk mendekatimu
dan jarak semakin tak menentu
karena kata selalu melangkahkan rindu.
Sementara sepi mengendap jauh ke dalam kalbu,
waktu berlari meninggalkanku!
Adakah engkau menunggu
dalam langkah rindu seorang tualang?
Adakah waktu memburu
kalbumu yang mengendap ke dalam bayang-bayang?
Aku masih mencari-carimu!
Lihatlah, hasrat tak lagi menunggu
langkah rindu yang tak menentu,
sedang kata menjadi lagu kalbu
untuk mendekatimu!
Sepi menjadi mainanku!
Bekasi, Maret 2010
Sutan Iwan Soekri Munaf
Di sini ada irama musik bertalu-talu
mendudu tanpa lagu dalam nada
bergerak mengarak kata
menjadi sayat kata
menjadi rekat kata
menjadi pikat kata
menjadi lezat!
Di sini ada kata
berdetik memadu-madu
berlalu tanpa makna
mengalun mencari tahu
dan tak tahu irama
menjadi sesak irama
menjadi sesal irama
menjadi sesam irama
menjadi setan!
Irama menjadi sesat di sini!
Jakarta Oktober 1998
SUTAN IWAN SOEKRI MUNAF
Orang berdua di balik subuh mandi siraman cahya mentari pagi
Ketika jalanan masih lengang dan gigitan dingin mendera sumsum
Orang berdua menjala waktu
Sehabis rona merah sepinggir langit perak
kita habiskan sisa mabuk menembus kelam
Lepaskan keasingan diri dalam cengkraman sumbu bumi.
Hampa
Sehabis kata-kata lepas tanpa suara
Orang berdua duduk menunggu di balik jendela
Kita menatap waktu
Bandung 1987
SUTAN IWAN SOEKRI MUNAF
Kerinduan akan suara nenek menceracau. Kembali
menyulam di kursi goyang. Sekali-kali lepaskan tatap
lewat kacamata yang melorot. Kali ini semua jadi bangsi
memanggil-manggil. Aku lindap
Jauh. Keterasingan dinding tembok bisu. Sepi
begini mencari kembali rumah tua. Tak juga dapat
Kembali ke kota
kelahiran. Menjenguk isi hati
berkaca dalam bolamata nenek. Dan berangin-angin
sambil melagukan kisahku. Semua jadi lekat. Semua
Masuk ke dalam. Melangkah ke tempatan rindu
Semua belum berobah. Kecuali nenek tidur dengan tenang
di samping halaman. Bernisankan batu sunyi. Batu kali
Semua tak lagi bicara apa-apa. Sepi
seribu kali lebih terasa malam ini
Bandung 1987
sutan iwan soekri munaf
Prisma sepi mengantarkan cahaya jiwa
setelah memantulkan bayang-bayangmu
dan mata pun tergoda mendengar nada
yang bergelombang menghampiri rindu
Aku ingin berlari mencarimu
yang bersembunyi di balik pintu: Waktu
bergerak: Hati pun terjebak!
Prisma kata menghamburkan gelisah
dan pelangi bisu masih terdengar di ujung lagu
Hasrat pun bergemuruh. Siapa yang resah?
Suaramu masih bergetar dan aku ragu
di antara kelebat rindu
yang menegur: Waktu
berdetak: Aku tersentak....
SUTAN IWAN SOEKRI MUNAF
Januari 1981-Juli 2001
Hasrat tak terkatakan untuk mendekatimu
dan jarak semakin tak menentu
karena kata selalu melangkahkan rindu.
Sementara sepi mengendap jauh ke dalam kalbu,
waktu berlari meninggalkanku!
Adakah engkau menunggu
dalam langkah rindu seorang tualang?
Adakah waktu memburu
kalbumu yang mengendap ke dalam bayang-bayang?
Aku masih mencari-carimu!
Lihatlah, hasrat tak lagi menunggu
langkah rindu yang tak menentu,
sedang kata menjadi lagu kalbu
untuk mendekatimu!
Sepi menjadi mainanku!
Bekasi, Maret 2010
Di Sini Aku Masih Menunggu
Semalam kulihat matamu dalam tidurku. Matamu bergerak-gerak seperti pisau menuju hatiku. Dalam menyeruak. Sedang senyum itu mampir begitu saja. Tanpa pretensi apa-apa. Aku gamang memeluk waktu!
Kalau dinihari aku terbangun dan tanganku bermain-main dalam kenangan, mencari-cari bahumu. Janganlah engkau diam. Biarkan suara mengembara di antara sepi. Beku.
Dan waktu berjalan. Jarak tak lagi menentu. Aku nanar. Sendiri. Matamu membinar dalam hatiku. Membakar seluruh rona jiwaku. Semakin gairah bangkit, semakin menggelora api membakar jiwa ini.
Jangan bicara lagi. Sajadah yang terpasang tak lagi terjamah. Nafsu melaju dan rindu mencair. Tak lagi kita rentang waktu dengan sembilu kata. Tak lagi mata menawarkan dahaga yang lama kupendam. Engkau masih menakik sepi. Sendiri!
Sudah kukatakan : Kembali! Biarkan waktu membakar kata-kata dalam huruf-huruf yang timbul. Pasalnya, rindu tak pernah sudah. Kita hanya mendakap sepi dalam perjalanan waktu. Sedangkan jarak tak pernah lagi terhitung. Berapa lama cinta terbakar?
Semua. Sudah kita bahas dalam bahasa jiwa. Tak lagi raga menjadi perantara. Tak lagi kata tersimpan dalam harapan. Semua. Kembali begitu saja. Engkau duduk di sampingku sambil memeluk lutut. Aku mendakap bahumu dalam mata nanar!
Kembalilah! Pinta itu hanya menggema tanpa pernah berubah. Sesekali engkau dinginkan bara api dengan sejuk senyummu. Aku mabuk sendiri. Tapi kita tak akan pernah bertemu...
Sutan Iwan Soekri Munaf:
Malam, begitu jauh berjalan
masih saja rindu kau dapatkan
di antara sepi yang tertinggal
pada setiap berganti tanggal
Dan malam tak pernah letih
menanti pagi penuh mimpi
ssdang kata semakin risi
dalam pelukkan baying-bayang. Lebih
ingin kau diamkan
setelah kaki waktu berhenti
dan semua tersimpan
lantas engkau menggumamkan lagu
yang tak pernah henti
menggodaku!
Malam pun berhenti melangkah
membawa seribu gundah…
Bekasi – okt 2010
Sutan Iwan Soekri Munaf
Kendara Waktu
- saat ingat cintaku
kendara hari melaju di bantaran kata. angin sejuk dalam kalimatmu menghentikan
waktu di halte mimpi. begitu lembut rambutmu mengurai makna yang bertahun-tahun
menunggu tumpangan. dan dalam berkas sinar mataku tersimpan huruf-huruf cinta
yang tak pernah bisa mengalir dari mulut sepi. kendara itu belum pernah sampai
ke terminal rasa. aku masih menatap gerak menit dalam frasa merah bibirmu. biar
pun detik cemburu pada remasan tangan-tangan cinta, masih juga hari menyajikan
makanan pembuka: sup rindu. dan kita menghabiskan jam-jam persinggahan di
restoran sangsi sambil menunggu panggilan kendara bulan. ya, resahmu dalam
perjalanan minggu mencapai windu, tersirat dalam nada bicaramu saat memesan
makanan utama: pernikahan senja.
aku masih di sini
engkau pun masih menunggu
jakarta-2002
Sutan Iwan Soekri Munaf